Kamis, 27 Juni 2013

Artikel


MENGASAH POTENSI DIRI MELALUI KEGIATAN MENULIS
Oleh: Abd.Jafar M.Nur

“Kehidupan adalah proses berinteraksi dengan lingkungan. Jika lingkungan tak terjangkau sua pandang, maka menulis titian yang pas untuk menapak perjalanan zaman. Dunia tak pernah merinci dirinya sendiri, tapi manusialah yang membutuhkan rincian itu untuk bertutur antar sesama. Demikian, pandangan penulis. Bagaimana dengan Anda?”
Belajar! Kata yang satu ini tak pernah jauh dari kehidupan manusia. Secara sadar atau tidak sadar bahwa segala aktivitas manusia pasti diawali dengan proses belajar. Belajar dan cita-cita sebagai pasangan nama dalam kata yang memiliki tempat yang berbeda. Belajar terletak di permulaan sedangkan cita-cica sebagai penutup sebagai hasil proses. Karena manusia selalu berkeinginan untuk meraih yang lebih baik, maka proses pembelajaran sebenarnya tak pernah berhenti. Demikian halnya dengan kegiatan menulis/
           Akan tetapi tidak semua orang mampu mengaktualisasikan kata tersebut menuju peningkatan taraf hidup yang lebih bermakna. Padahal kita sudah memahami bahwa belajar sebagai proses dalam bentuk melakukan kegiatan berulang-ulang. Bahkan, ada orang yang melakukan sesuatu secara terus-menerus walaupun sesungguhnya hal itu sudah dia kuasai. Sudah menjadi hukum alam semua tindakan dimulai dengan tindakan, karena tidak ada sesuatu yang jadi dengan sendirinya tanpa tindakan, (La Rose: 2003). Artinya, apabila ada niat untuk memasang kehidupan kita untuk lebih bermakna, maka menulis menjadi pilihan yang tepat. .
Claude Levis Strause seorang ahli antropologi Prancis menyatakan bahwa tulisan merupakan suatu ciptaan ajaib yang pengembangannya membawa manusia pada suatu kesadaran yang lebih jelas terhadap masa lampau dan dengan demikian akan melahirkan kemampuan yang lebih besar untuk mengatur masa sekarang maupun masa depan. Hal tersebut berarti bahwa tulisan mampu menjadi bahan alternative dan solusi kepada masyarakat pembaca. Selain waktu luang akan terisi secara produktif, kesibukan menulis tetap aktif, mengasah pikiran agar menjadi kreatif, sebagai kereta dorong pribadi untuk maju, melatih kepekaan diri agar terjalin kondusivitas yang memadai, sehingga penataan nilai hidup lebih menawan, dan bermakna.
Senada dengan Claude, The Liang Gie, menyatakan, kegiatan mengarang bentuk apapun, tidak hanya bermanfaat melainkan juga menggairahkan bagi penulisnya, dan sekaligus akan melahirkan nilai tambah dalam berbagai bentuk seperti nilai kecerdasan, pendidikan, kejiwaan, nilai kemasyarakatan, dll. Maka, Bernard Percy (1981) mengungkapkan paling sedikit 6 manfaat menulis yaitu : sarana pengungkapan diri, sarana untuk pemahaman, sarana pengembangan rasa kepuasan dan kebanggaan, sarana untuk meningkatkan kesadaran dan pencerahan diri terhadap lingkungan, sarana keterlibatan yang bermakna, dan sarana untuk mengembangkan rasa bahasa dan kemampuan berbahasa.
Demikian kekuatan yang tersembunyi di dalam  kegiatan menulis. Sebuah tenaga dahsyat yang akan mengantarkan kita untuk maju. Lalu, diamkah kita setelah mengetahui kedahsyatan tersebut? Semua manusia pasti ingin maju, ingin menguasai dan memiliki sesuatu, maka berdiam diri harus menjadi kesepakatan untuk kita hindari. Karena kemajuan dan perubahan itu hanya ada di dalam diri dengan melakukan aktivitas apa pun  bentuknya, apalagi menulis. Lebih dari itu, menulis dapat dijadikan bahan evaluasi diri dan sebagai media aktualisasi diri.
Menyadari akan makna tulis-menulis akan dapat memompa semangat diri untuk segera mengambil bagian dalam pemanfaatan waktu luang dengan kegiatan menulis. Kewajiban kita memulainya dari sekarang karena menunggu besok pagi berarti kita menumpukkan beban di atas pundak sendiri. Tidak ada yang bisa mengajarkan kita menulis sebaik pengalaman, dan tak akan pernah sebaris tulisan pun jika tidak mulai dari satu kata, ungkap Agus Fathurrahman:1994. Karena itu, memulai adalah kata kunci. Mengingat pengalaman akan terbentuk setelah ada aktivitas. Kegiatan yang berulang-ulang akan melahirkan pengalaman yang lebih matang, sehingga dikatakan bahwa pengalaman sebagai guru yang paling berharga.
Setelah kita sepakat untuk menjadikan menulis sebagai kegiatan pilihan atau kita berkomitmen untuk menulis, maka berikut ini  sebagai sesuatu yang perlu mendapat perhatian optimal. Yaitu masalah waktu. Manajemen waktu yang baik akan mempengaruhi kualitas tulisan yang kita selesaikan. Jonru, 2009, menata perhatian terhadap waktu sebagai berikut: pertama, menyediakan waktu khusus bagi kegiatan menulis. Kedua, disiplin dalam menggunakan waktu, ketiga, menghargai waktu dan tidak menunda-nunda pekerjaan, keempat, kenali aktivitas harian. Kelima, mengerti ptioritas, keenam, gunakan waktu perjalanan, ketujuh, berani tegas untuk berkata “ tidak” untuk kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan pemanfaatan waktu secara baik. Kedelapan, tanamkan tekad kuat untuk menjadi penulis sukses.
Suatu hal yang perlu kita pahami, bahwa menulis dan membaca sebagai dua kata yang terus bergandengan. Artinya, dua kegiatan yang terpisah tapi keduanya saling mendukung. Menulis berarti melakukan kegiatan merakit bahan tulisan menjadi bacaan baru. Bahan yang berserakan diperoleh melalui kegiatan membaca. Namun demikian, bukan berarti kita membaca meluluh untuk mendapatkan segudang bahan, karena setumpuk buku yang terlalap tidak akan mampu menjelma menjadi sebuah tulisan. Tulisan lahir dari menulis, bukan yang lain.




















Rabu, 19 Juni 2013

Cerpenku


B E N I N G


Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi. Begitulah yang aku alami. Hari-hari kegembiraanku tidak bisa kunikmati seperti teman-temanku. Cita-citaku untuk menimba ilmu lebih banyak pupus dalam dukaku yang sangat dalam. Betapa tidak, pada hari pengumuman untuk masuk ke SMA, hari itu pula ayahku berpulang ke pangkuan Ilaihirobbi. Dukaku terlalu dalam. Aku sempat mengurung diri. Aku sempat tidak makan dan minum beberapa hari. Yang paling dikhawatirkan oleh keluarga, aku sempat tidak mau berbicara dengan siapa pun. Aku membisu dalam duka yang melilit perasaanku. Badanku kurus. Mukaku pucat. Badanku seperti tak bertulang. Dalam kondisi seperti itu, teman-temanku banyak yang datang. Mereka memberi semangat.
“Kau harus tabah. Kau harus bisa menerima kenyataan ini. Ringankan langkah ayahmu menghadap Yang Mahakuasa, karena kepada Dia jua kita kembali,” ujar Ratna sambil duduk di dekatku.
“Ya, Didik! Kau tidak boleh begini terus. Ingat, Dik! Beberapa hari kau tidak makan, badanmu sendiri yang menjdi lemas. Kau harus bangkit. Mungkin ini suatu petunjuk buat dirimu untuk sukses, walaupun jalan itu berbeda dengan teman-temanmu. Kamu harus ingat pesan guru agama kita, bahwa jalan menuju sukses itu berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin kamu yang akan lebih baik daripada kami. Itu semuanya rahasia Tuhan Yang Mahakuasa,” lanjut Erni menambahkan
“Kau tidak boleh begitu, Nak! Jauh-jauh temanmu datang untuk mengingatkanmu, tapi kamu tetap tidak mau berbicara dengan mereka. Hargailah mereka, Nak! Kau menjadi tumpuan harapan ibu untuk menggantikan posisi ayahmu. Harta benda masih ada untuk melanjutkan harapan hidup kita yang lebih baik,” tegur ibu dalam isak yang menyayat.
Aku masih berdiam diri. Tapi, hatiku sudah menggayut pikir. Aku sendiri tidak mengerti mengapa pikiranku datang dengan tiba-tiba. Kupeluk ibuku erat-erat.
(mau baca selengkapnya, hubungi pemilik blog ini)

Kurikulum 2013


Sahabat Tetesan Pena.
Kali ini saya ingin berbagi artikel yang ditulis oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

 Artikel ini Sudah Dimuat di Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013

Dalam beberapa bulan terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut. 

Saya berkesimpulan, mereka yang mempertanyakan kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi dasar Kurikulum 2013. 
Secara falsafati, pendidikan adalah proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya, bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.

Dalam UU Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.

Mengingat pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat dicapai. 

Perencanaan Pembelajaran

Dalam usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum jenjang satuan pendidikan.

Dalam teori manajemen, sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana.

Dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi termasuk mencakup metodologi pembelajaran. 

Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji,  menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif  dan kreatif, dalam ranah konkret dan  abstrak, sesuai dengan yang  ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu taksonomi.

Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21 serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.

Mengatakan tidak ada masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.
Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berfikir. 

Kompetensi Inti

Kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum tersebut diterapkan.

Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.

Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. 

Kompetensi inti bukan untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti. 

Ibaratnya, kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran.

Dengan pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti. Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).

Dalam mendukung kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini  sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.

Uraian kompetensi dasar sedetil ini adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada sikap. 
Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,  22/2)

Kedudukan Bahasa

Uraian rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang masih mulai belajar berfikir abstrak.

Di sini peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta didik.

Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.

Dengan cara ini pula, maka pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta didik.

Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik. (***)

Suara Rakyat


PEMILUKADA NTB 2013: WARGA BISA HARAP APA?
Oleh: ABD.JAFAR M.NUR
                Pemilihan Umum Kepala Daerah untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah di ambang pintu. Gambar-gambar calon sudah terpasang di mana-mana. Pohon-pohon yang berbaris di pinggir jalan raya tak luput dari pertimbangan sebagai tempat strategis. Baleho berbagai ukuran ikut menyemarak suasana yang dipadukan dengan pemasangan spanduk berbagai ukuran membentang ruas jalan. Mereka berlomba-lomba untuk merebut nurani massa. Hal tersebut wajar-wajar saja mengingat masing-masing calon memiliki peluang yang sama untuk meraih suara terbanyak.
                Pada sisi yang berbeda, melalui proses pemilihan tersebut, masyarakat melepas harapan melalui pilihannya masing-masing sebagai sebuah proses demokrasi yang kita anut. Setelah itu maka mereka tinggal menunggu apakah harapan itu akan terpenuhi atau tidak. Tapi , dengan antosias yang ada, mereka selalu optimis bahwa proses itu cepat atau lambat pasti akan terpenuhi karena bagi mereka pemilihan tersebut tidak lain untuk memilih pemimpin yang siap dalam upaya pemenuhan harapan tersebut. Yaitu terpenuhinya berbagai fasilitas yang mampu menjadi penopang kelancaran dan kenyamanan menuju kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Dan hal itulah yang mendorong semangat pemilih menuju TPS masing-masing. Pada tahapan itu, masyarakat mengingat slogan tradisional bahwa memimpin itu adalah seni dalam mengambil keputusan. Maka, pada saat itu terjadi suatu proses batin pemilih sebelum menentukan pilihan. Dengan mengaduk antara pengalaman masa lalu dengan harapan yang mereka harapkan , jatuhlah pilihan itu kepada pasangan yang mereka prediksi akan dapat dan mampu menjalankan amanah warganya.
                Dalam benak warga (pemilih), membayangkan pemimpin sebagai pimpinan sebuah barisan. Semua anggota barisan tiada yang luput dari perhatian seorang pemimpin. Bahkan anggota barisan yang paling sering melakukan kesalahan pada setiap langkah dari sebuah aba-aba selalu mendapat perhatian dan atau pembinaan khusus. Dengan demikian, barisan akan memiliki ruh kehidupan dalam gerak dan irama yang mampu memukau penonton. Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki peluang untuk itu.
                Selama ini, NTB dalam perjalanannya tantangan dan hambatan segala-galanya selalu dikeluhkan ke bawah. Kemajuan Nusa Tenggara Barat sangat tergantung pada tingkat kesadaran rakyatnya. Kesadaran untuk melangkah maju. Sadar kalau kebodohan dan kemiskinan itu menjadi penyebab keterbelakangan. padahal warga sudah lama merintih, berpayung kebodohan dan kemiskinan tersebut. Masyarakat NTB paham kalau pendidikanlah akan mampu menghalau kebodohan yang sudah mengakar, tapi biaya meniju ke sana senantiasa masih melilit tubuh yang kian bertambah langsing. Masyarakat mengerti sedalam- dalamnya kalau kemiskinan menambat kuat kaki untuk melangkah, tapi tenaga untuk melakukan semua itu selalu mengintai dan tak mampu pergi. Ada lahan tempat bertanam, tapi humus tanah semakin menipis. Tersedia bahan pengganti humus, tapi biaya tak sepadan. Rakyat terus menjerit, tapi harap tak pernah putus  karena kepercayaan telah dilimpahkan. Masyarakat terus mendonga sambil menadahkan telapak tangan dalam komat- kamit, membaca firman Ilahi, karena harapan tetap terbungkus waktu. Maka, untuk sementara, ada warga yang mengadu nasib ke Negara tetangga. Keputusan sementara menunggu uluran tangan.
                Demikian, waktu melintas tak pernah permisi. Kini datang lagi pemberitahuan Pemilukada. Iklan Cagub dan Wacagub menjadi bahan diskusi warga yang cukup mengasyikkan. Warga lagi-lagi menggantung harap dengan ucapan “semoga,” karena perubahan itu pasti terjadi seiring masa yang terus melaju. Warga juga paham tentang korupsi yang semakin menyeruak dan memang menyakitkan, tapi itu bukan lahan garapan mereka. Masyarakat sudah lama paham bahwa masa lalu adalah pengalaman, sedangkan masa depan tak lain dari lokasi meraih harapan. Harapan akan terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Keoptimisan masyarakat akan terjadi perubahan kearah yang lebih gemilang karena mereka tahu kalau kepemimpinan seorang pemimpin itu harus melebur dalam tiga komponen: cipta, rasa, dan karsa. Implikasinya, pedoman sukses kepemimpinan cuma ada tiga. 1) memutuskan dari aspek cipta, 2) memutuskan dari aspek rasa, dan 3) memutuskan dari aspek karsa. (Kompas, 29 juni 2006).
                Berpihak pada ketiga aspek kesuksesan kepemimpinan tersebut, warga NTB saat ini sedang berdiskusi dengan nurani masing-masing dan atau menerima masukan-masukan dri para Jurkam masing-masing kandidat nantinya sehingga pilihan mereka dapat memenuhi harapannya. Harapan agar sandang, pangan, dan papan berjalan seiring, seirama dalam bingkai kebijakan pemerintah/pemimpin yang bijak, adil, tegas, dan transparan. Pendidikan dikedepankan. Warga NTB khususnya harus terampil dalam segala urusan kehidupan apalagi kemartabatan. Tidak terdengar lagi erangan karena kelaparan apalagi kemelaratan. Warga NTB harus terhindar dari penderita  busung lapar. Dengan hanya memberdayakan potensi alam yang ada, Provinsi Nusa Tenggara Barat sebenarnya cukup membanggakan. Pemberdayaan petani melalui efektivitas dan efisiensi pengolahan lahan yang terkontrol dan terkoordinatif  pasti akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan khususnya ketersediaan bahan pangan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian khusus, mengingat pangan selalu menjadi muara peningkatan pada bidang yang lainnya. Pemenuhan kebutuhan pangan adalah sentralistik, karena pangan tak terpisahkan dari energi. Yang selanjutnya akan menentukan kekuatan daya untuk berbuat. Turun naiknya daya inilah yang akan mewarnai pola laju interaksi suatu masyarakat.
                Namun demikian, sesuai perkembangan yang terjadi saat ini, kebutuhan masyarakat tidak pokus pada suatu bidang tertentu saja, melainkan sudah multidimensi. Kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi menuntut kita semua berperan aktif. Di sini, pendidikan menjadi jembatan perangkai menuju masyarakat yang mampu menempatkan dirinya sesuai kemajuan zaman. Maka, pemilukada yang akan melahirkan pemimpin khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat nantinya diharapkan mampu menggiring serta memfasilitasi warganya menuju taraf kehidupan yang menjadi idaman semua pihak. Pemimpin yang jujur, memiliki rasa kepedulian yang tinggi dan yang terpenting adalah melengkapi diri dengan semangat keberanian guna melakukan terobosan-terobosan inovatif.
                Sekarang kita bersama-sama berada dalam kondisi  berupaya, berjuang, dan doa. Ketiga pedoman kepemimpinan: cipta, rasa, dan karsa  yang tadi bukanlah harga mati. Tetapi, tanpa itu juga kita akan melangkah terseok-seok, yang akan mengundang pertanyaan warga: mengapa hidup kita tidak seindah wajah  Provinsinya?
                Implikasi jawaban pertanyaan itu memang melibatkan semua pihak. Namun, sedikit tidak dengan jiwa dan semangat kepemimpinan yang berlandaskan cipta, rasa, dan karsa tadi ikut mewarnai dinamika proses menuju perubahan yang kita kehendaki. Karena itu, seorang pemimpin harus berlaku jujur. Pemimpin yang segera meminta maaf bila melakukan kesalahan dalam menjalankan programnya. Seseorang yang malu terhadap korupsi. Pemimpin yang tegas dalam mempertahankan kebenaran, dan yang yakin untuk memulai sesuatu harus berangkat dari kejujuran, dalam jiwa yang bersih dan tulus. Tanpa itu, warga mau harap apa?

                                                                                Penulis adalah PNS tinggal di Kopang Lombok Tengah