Selasa, 14 Januari 2014


PENDIDIKAN, GURU, & KURIKULUM
Oleh: Abd. Jafar M.Nur
Guru dan kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai mata rantai yang tak terpisahkan. Sebagai pelaku kurikulum, mengharuskan guru berbuat mengikuti dinamika  zaman yang tak mungkin tersekat oleh apa pun. Kurikulum sebagai amanat pendidikan adalah muatan yang harus dipikul kuat dan melekat dalam tugas seorang guru. Tataan materi pembelajaran merupakan isi sentral sebuah kurikulum. Dengan kata lain, kurikulum sebagai model langkah pendidikan suatu bangsa, kompas bangsa untuk melaju. Maka, kurikulum harus berwujud kesepakatan nasional demi kemajuan bangsa Indonesia  (kemajuan bersama). Sebagai pelaksana pendidikan bangsa terdepan, guru tidak akan mempermasalahkan perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum sebagai bagian dari hasil reformasi dalam bidang pendidikan tentu dinilai hanya ada dan terjadi demi kemajuan bangsa. Orientasi perubahan tersebut pada kepentingan bangsa Indonesia ke depan dalam berinteaksi dengan dirinya, berinteraksi dengan Negara lain secara global. Jadi, perubahan kurikulum pendidikan memiliki konsekuensi kontinyuitas yang tinggi. Jika tidak, maka hasil yang kita raih akan datang sepotong-sepotong dalam bentuk dan wajah yang berbeda. Hal itu terjadi mungkin disebabkan karena setiap perubahan kurikulum selalu diikuti perdebatan yang tak pernah berakhir dengan bentuk dan  tekad yang tak pernah menyatu dalam keutuhan, sehingga kekuatan perubahan itu terkuras oleh debat yang tidak berujung. Padahal kita menyadari bahwa kekuatan kita terdapat dalam kemampuan menerima, merakit perbedaan menjadi semangat juang bersama. Jika kita sejenak menengok ke belakang, betapa bangsa-bangsa lain peserta APEC di penghujung tahun 1994 manggut-mangut memuji keberhasilan bangsa kita menyelenggarakan Konferensi AFEC.
“Pertemuan kerjasama ekonomi Negara-negara Pasifik itu yang memberlakukan perdagangan bebas tahun 2020 untuk Negara berkembang, dan tahun 2010 untuk Negara maju” (Kompas, Januari 1995). Ini berarti, bahwa kita tidak boleh hanya berbangga diri dengan kesuksesan normative tanpa harus menyingsingkan lengan baju untuk berupaya keras. Kesuksesan tersebut sebagai aba-aba yang semestinya harus berwujud sebagai gerakan moril dan sekaligus skill (keterampilan) sebagai bekal dalam setiap gerakan nyata. Tuntutan terhadap perjuangan hidup yang lebih baik sudah pasti, tetapi lebih dari itu untuk menghadapi persaingan dengan pihak lain harus lebih diutamakan. Dan, itulah nafas perjuangan hidup yang sebenarnya yang sesuai dengan tuntutan global. Globalisasi sebagai gerak sosial masyarakat tentu tak terlepas dari dinamika social yang ada, maka kedinamikaan masyarakat dalam era global mau tidak mau harus berpayung dalam suatu etika yang dinamis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterima oleh semua pihak.
 Hal tersebut berarti kita harus mampu menerima, menghadapi etika dan tata cara berdagang dalam pasar bebas. Sebuah tantangan yang tidak boleh terabaikan apalagi terlupakan bahwa kita mau tidak mau harus mampu bersiap diri dalam menghadapi perkembangan tersebut. Karena itu, perubahan kurikulum yang kini sudah berlaku harus menjadi “besi baja” yang tidak boleh bengkok apalagi sampai patah. Kekuatan yang dimaksud adalah tahapan perolehan dari hasil pendidikan yang secara terus menerus berbenah dalam sebuah proses untuk melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Kehandalan SDM dimaksud akan terpenuhi apabila terjadi tahapan proses yang berkelanjutan dari setiap jenjang pendidikan yang ada. Dan, itulah alasan kita mengapa perubahan kurikulum sedapat mungkin memiliki korelasi berkelanjutan dengan merakit hasil masa silam. Penekanan tersebut tentu akan berpeluang cukup signifikan terhadap kehandalan SDM Indonesia yang memiliki kemampuan bersaing dalam percaturan global. Kemampuan bersaing dalam hal ini mengandung makna keterampilan bertindak (skill action) yang berlandaskan pengetahuan (pengetahuan/kognitif) sebagai hasil proses pembelajaran. Karena itu, proses pembelajaran di kelas mengarahkan guru untuk memiliki kemampuan membaca setiap perubahan yang ada termasuk perubahan kurikulum yang sedang diberlakukan. Peka terhadap setiap dinamika zaman sebagai konsekuensi tugas guru ke depan.
Perubahan harus diterjemahkan sebagai kemajuan bersama, kemajuan bangsa. Tanpa semangat tersebut, perubahan kurikulum hanya menyisakan keluhan dan ratapan sehingga perjalanan proses pembelajaran di kelas dianggap sebagai beban yang akan berimbas pada turunnya semangat juang. Guru harus menyadari batas tugasnya. Kurikulum hanya salah satu perangkat tempat tataan elemen tugas, mengkaji materi pembelajaran yang akan dibawa ke hadapan peserta didik. Sedangkan yang lainnya adalah petunjuk ke arah mana kita akan melaju. Artinya, didalam kurikulum terdapat bagian yang menjadi tugas guru secara langsung, sedangkan bagian yang lainnya berfungsi sebagai petunjuk jalan. Istilah di dalam kurikulum 2013 itu disebut sebagai Kompetensi Inti (KI)
Petunjuk itu adalah kebijakan pihak lain, bukan tugas guru. Guru harus focus mempertajam kata hati terhadap penterjemahkan setiap perubahan yang terjadi demi pelaksanaan tugas yang lebih professional. Dengan demikian, relevansi persyaratan dengan tugas emban seorang guru akan menjadi kompetensi tersendiri yang melekat pada diri seorang guru. Namun demikian, banyak kalangan sekarang ini yang menyorot mutu pendidikan di tanah air selalu berujung pada kemampuan dan profesionalisme guru yang belum memadai. Guru selalu dijadikan sandaran pijak dari seluruh persoalan pendidikan kita.
Suatu ironi universal telah melumpuhkan mata hati kita karena guru hanya sebuah elemen kecil terhadap factor-faktor penentu mutu pendidikan yang lainnya. Terlebih lagi bahwa mutu pendidikan itu melekat pada pihak lain yang memiliki eksistensi tersendiri dalam kedudukannya dengan lingkungan yang selalu berubah. Kondisi tersebut tak pernah tampak ketika neraca penilaian mutu dilakukan. Padahal keberadaan guru saat ini lahir dari sebuah tataan kebijakan yang telah teruji. Lebih lanjut kita telusuri, bahwa mutu pendidikan yang kita perbincang sekarang ini bukan bentuk akhir dari sebuah proses pembelajaran. Apa yang tergambar saat ini kita akui bersama sebagai sebuah determination, sebuah bentuk peristirahatan dalam melirik bentuk berikutnya. Jadi, ketercapaian mutu pendidikan saat ini belumlah wajar menjadi bahan tudingan, bahan perdebatan yang tiada mengenal kata syukur karena belum memuaskan semua pihak. Dalam teori tersaji kalau pendidikan itu harus menjadi tanggung jawab bersama ( pemerintah, orang tua, dan masyarakat ). Jika ketiga tokoh ini beriringan, sejalan, dalam implementasinya mungkin bentuk keberhasilan yang kita dambakan tidak terlalu sulit untuk diraih. Tapi, yang terjadi selama ini ketika terjadi suatu permasalahan dalam proses pendidikan kadang-kadang ketiga tokoh  itu saling lempar. Dan,yang paling sering terpojok adalah posisi guru. Tidak sedikit indikasi yang tampak, sehingga sering terdengar “kalau murid/peserta didik yang berhasil, orang tua yang dicari/ditanya. Dan, jika peserta didik yang tertimpa masalah/nakal, yang disebut-sebut adalah gurunya.” Posisi guru memang sering terpojok karena gambaran wilayah latar yang tidak terbaca kasat mata. Kita cermati lebih dalam bahwa pada umumnya sekolah di Negara kita dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe yang dilihat dari motivasi belajar peserta didik. Tipe yang pertama adalah sekolah yang menampung anak yang datang bersekolah (datang belajar). Tipe yang kedua adalah sekolah yang menampung peserta didik yang datang bersekolah dan juga yang disuruh datang bersekolah (disuruh belajar). Berhadapan dengan sekolah yang tergolong tipe kedua, cukup mempengaruhi proses pembelajaran yang berdampak terhadap hasil belajar.
Guru tidak terlalu mempermasalahkan kenyataan itu. Pendidik penerus generasi bangsa itu hanya menanti orang yang mau bersyukur. Guru sangat menyadari kalau kondisi seperti itu tidaklah cocok untuk mencari siapa yang benar dan pihak mana yang bersalah. Keputusan yang bijak selalu memperhatikan kepentingan anak demi perkembangan masa depan mereka yang gemilang. Jika Undang-undang Dasar 1945 sebagai acuan, terutama kita mencermati tujuan bangsa Indonesia yang termuat dalam alinea ke IV, “…untuk mencerdaskan kehidupan bangsa…” patut menjadi bahan perenungan kita bersama. Bahwa, segala bentuk proses penbelajaran baik melalui pendidikan formal, informal, dan non formal hanya semata-mata untuk mencerdaskan kehidupan, bukan mencerdaskan otak/kognitif semata. Karena kehidupan sebagai proses, maka beberapa model kompetensi harus dimiliki oleh anak-anak/peserta didik. Misalnya kompetensi berkomunikasi, kompetensi keterampilan khusus, kompetensi social, serta etika dan estetika. Dan, juga kompetensi diri  sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. Sosok manusia seperti itulah yang akan menentukan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang sebenarnya. Yaitu manusia Indonesia yang cerdas otaknya, cerdas perasaannya, dan cerdas etikanya, sehingga mereka mampu memiliki, tetap mengimplementasikan wujud syukur dalam kondisi apa pun.
Seandainya kita memiliki pandangan dan kesepakatan bersama terhadap makna “mencerdaskan kehidupan bangsa”  tersebut, maka Ujian Nasional (UN) yang selama ini kita laksanakan yang hanya mengukur tingkat kecerdasan otak peserta didik akan mampu memilah/menyeleksi, menentukan kualitas sebagai totalitas nilai kemanusiaan secara universal. Dengan demikian, jika perubahan kurikulum mengarahkan kita untuk memiliki sumber daya manusia yang handal (baca, berkarakter) sebagai amanat Kompetensi Inti yang terjabar di dalam Kurikulum 2013 akan membawa angin segar sebagai momentum awal bagi guru untuk memulai berproses dengan semangat, arah,  dan tujuan yang lebih kompleks demi kualitas yang berdaya rekat kuat terhadap seluruh kompetensi  nilai kemanusiaan yang utuh.  Jika, kurikulum masa lalu telah menghimpun berbagai pengalaman dan kita telah menikmati hasilnya, diri kita juga yang mengeluhkan produknya, lalu, apa bentuk hasil yang kita inginkan bila ruh perubahan itu tetap seperti sediakala?
Selain itu,  ada lagi kealpaan kita dalam hal mengevaluasi mutu pendidikan selama ini. Jika pendidikan sebagai kegiatan memproses input yang berkedudukan sebagai bibit. Dan, kita mengenal ada bibit unggul serta bibit tidak unggul. Kedua macam input tersebut berkolaborasi melalui program peningkatan mutu pendidikan dan program pemerataan pendidikan. Kedua tipe input pendidikan itu menyatu dalam dua program yang tidak menyapa satu dengan yang lainnya. Lalu, tidakkah rendahnya kualitas mutu pendidikan yang sekarang kita tumpahkan semuanya ke wajah sang guru sebagai sebuah kewajaran?
Kita harus mengakui bahwa orang-orang pintar Indonesia saat ini adalah produk kurikulum masa lalu. Kita mengeluh terhadap mereka karena ketidakmampuan mereka mewakili diri serta teladan bagi yang lainnya untuk dikatakan berkualitas yang utuh, lalu tudingan berikut  mengarah kepada kemampuan guru di lapangan. Padahal, kita memahami kalau sekolah itu bukan pabrik akhir. Namun, guru menyadari diri, mengakui  kegagalannya bila  Ujian Nasional tetap dipakai sebagai satu-satunya indikator mutu pendidikan dalam makna “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Maka, kehadiran kurikulum 2013 dengan designer proses pembelajaran yang aktif,kreatif, inovatif,yang berpayung pada pengembangan nilai-nilai karakter tertentu  sehingga peserta didik memiliki pengetahuan yang tidak hanya berasaskan intelektualitas semata, tetapi pengetahuan yang lebih kompleks ( cerdas otaknya, cerdas perasaannya, dan cerdas tindakannya). Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah terbukanya peluang guru dan peserta didik untuk melatih, memiliki, dan menumbuhkembangkan budaya bernalar. Karena,  intelektualitas yang tak berpayung nalar dan moral sungguh menakutkan kita semua. Harapan kita tertuju kepada upaya keras guru melalui pengimplementasian kurikulum 2013 mampu terwujudnya kehidupan berbangsa yang cerdas, bernalar  dan berkarakter.


Penulis adalah Guru SMA Negeri I Batukliang Lombok Tengah.