Selasa, 23 Juli 2013

Resep Menulis


BAGAIMANA BELAJAR MENULIS?
Oleh: Abd.jafar m.nur
“Belajar tidak mengenal usia. Bahkan, menjadi kewajiban bagi manusia untuk memahami lingkungan. Lebih dari itu, hanya dengan belajar menusia bisa meraih cita-cita. Salah satu di antara upaya belajar adalah dengan menulis.” Penulis ingin menyapa teman-teman melalui resep menulis, sebagai ucapan salam kenal. Semoga bermakna!
                Menulis itu adalah suatu keterampilan (skill). Skill tidak pernah kita miliki kalau kita masih berdiam diri. Dengan kata lain, keterampilan apa pun namanya tak pernah datang seperti mimpi. Jadi, keterampilan itu wajib berawal dari suatu kegiatan. Kegiatan itu identik dengan kerja atau berbuat sesuatu. Tidak mau berbuat jangan mimpi keterampilan menjadi milik kita. Andai kita sepakat dan ingin menjadikan  menulis sebagai suatu keterampilan yang ingin kita gemggam, maka yang paling pertama kita pasang dalam diri kita sendiri adalah kemauan untuk berbuat. Karena menulis ingin kita jadikan sebagai suatu keterampilan yang harus kita miliki, maka kegiatan yang harus kita lakukan adalah menulis itu sendiri. Semakin sering menulis, keterampilan menulis itu semakin lancar, baik. Sama seperti tukang meubil, kursi misalnya. Semakin sering dia membuatnya dapat dipastikan hasilnya semakin baik, halus, dan enak dilihat.
                Demikian halnya dengan menulis, semakin banyak tulisan yang kita hasilkan pasti akan bertambah baik. Jadi, menulis dan menulis adalah menu yang mujarab agar kita pandai menulis. Suatu kegiatan yang kita lakukan secara berulang-ulang disebut berlatih. Menulis pun demikian. jika tukang kursi berlatih membuat kursi pasti menggunakan kayu yang berbeda. Dia tidak akan membongkar kursi yang telah diselesaikan, menulis pun demikian. Jadi, latihan berbuat dengan berbuat. Latihan menulis dengan menulis itu sendiri.
                Namun demikian, jika tukang kayu berlatih dengan kayu, maka kayu yang akan menjadi bahannya pasti disediakan lebih banyak. Menulis juga demikian. Tetapi, menulis tidak membutuhkan bahan dari kayu. Mencari bahan untuk menulis harus menempuh suatu jalan. Di tengah perjalanan itulah kita akan memungut bahan-bahan untuk menyesaikan tulisan yang kita inginkan. Oleh sebab itu, menulis dan membaca adalah dua kegiatan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa seseorang yang ingin menulis menjadi suatu keterampilan yang ingin dimiliki, maka, membaca harus menjadi bahan baku yang tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, tidak ada seorang penulis yang lahir dari luar komunitas membaca. Malas membaca, singkirkan saja keinginan untuk menjadi seorang penulis.
                Jika selama ini kita hanya mengatakan kalau diri kita tidak bisa menulis, itu hanya perasaan yang akan menghambat diri sendiri untuk bisa menulis. Karena persyaratan menulis belum perrnah kita laksanakan. Padahal kita tahu kalau keterampilan menulis itu datang dari menulis itu sendiri. Ingat! Memiliki bahan yang cukup pun tidak akan mampu menjadi sebuah tulisan. Jadi, tulisan itu akan selesai dengan jalan merangkai bahan tulisan menjadi tulisan. Tidak percaya? Coba saja!
(disarikan dari berbagai literat

Artikel Komite Sekolah


EKSISTENSI KOMITE SEKOLAH
Oleh: Abd. Jafar M.Nur

       Setetes air hujan dipastikan terjadi erosi. Perubahan kebijakan merupakan awal sebuah proses yang berkelanjutan dan saling mempengaruhi. Demikian yang terjadi dalam bidang pendidikan. Logis dan wajar, karena perubahan merupakan pembaharuan ( inovasi ) dan peningkatan ( improvisasi ) yang dapat terjadi melalui tahapan-tahapan ( evolusi ) atau secara derastis ( revolusi ). Perubahan tidak mungkin dapat dikekang selama pengelola alam ini masih bernafas. Kebijakan sebagai pijakan sebuah perubahan dengan proses tertentu yang mengarah kepada peningkatan dan penyempurnaan adalah harapan semua pihak menuju masa depan yang lebih baik.
       Maka, bidang pendidikan menggeliat dengan mendesain kurikulum berbasis kompetensi ( competency base curriculum ) sebagai model langkah baru yang disepakati dengan tujuan untuk mempercepat langkah mengejar tujuan yang diinginkan. Imbas dari gerakan ini lahir pula pola baru dalam manajeman pendidikan yang dinamakan manajeman peningkatan mutu berbasis sekolah ( school base quality manajemen ). Dinamika gerakan ini mengalir deras dengan harapan sekolah lebih mandiri. Kemandirian sekolah sebagai gerbang terbuka untuk mengatur, menggali potensi yang dimiliki oleh sekolah termasuk pengelolaan lingkungan. Maka, manajemen sekolah mengarahkan  diri  mengembangkan sayapnya dengan jalan merangkul wali murid dan masyarakat sekitar serta tokoh-tokoh yang peduli terhadap pendidikan. Hal itu dilakukan semata-mata berfokus untuk meningkatkan mutu pendidikan yang berlanjut dalam suatu pengokohan formatnya melalui pembentukan dewan pendidikan yang dikenal dengan nama Komite Sekolah.
       Komite sekolah muncul berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor: 044/U/2002 tanggal 25 April 2002. Lembaga ini lahir sebagai pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan ( BP3 ) yang dinyatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkan surat keputusan tersebut. Mekanisme dan pola kerja komite sekolah diatur sedemikian rupa yang rasionalis, kompetitif. Tidak cukup sampai di situ, rasionalitas dan dasar pemikiran terbentuknya komite sekolah dibarengi dengan undang-undang  dan peraturan pemerintah yang lainnya antara lain: 1). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, 2). Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dikenal dengan otonomi daerah, 3), Undang-undang nomor 25 tahun 1999 yang mengatur perimbangan keuangan pusat dan daerah. 4). Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 yang mengatur  kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah daerah sebagai daerah otonom. Kesemuanya sebagai dukungan politik dan landasan yuridis untuk memberdayakan satuan pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah.
        Komite sekolah yang pembentukannya sesuai dengan satuan pendidikan itu melalui pertemuan dan musyawarah dengan orang tua murid, alumni, penyantun, dan unsur-unsur lain yang terkait ( stake holder ) guna berperan aktif, bersemangat untuk memajukan penyelenggaraan pendidikan yang tentu akan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan. Lahirnya komite sekolah pada setiap satuan pendidikan agar sekolah dapat tumbuh dan berkembang sesuai harapan karena sekolah berkesempatan mengurus dirinya sendiri ( desentralisasi ) atau otonomi sekolah. UUSPN N0. 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 3 menyatakan bahwa komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan  dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Dengan demikian, sekolah selalu berkometmen untuk mengembangan kemampuannya dalam hal menganalisis kebutuhan terutama terhadap potensi dan hasil proses pendidikan.yang berkorelasi terhadap mutu pendidikan yang akan diperoleh.
       Jadi, terbentuknya komite sekolah adalah perwujudan pelaksanaan otonomi sekolah dan desentralisasi pendidikan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat yang berimbas terhadap kebijakan oprasional dan program pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Kedinamisan operasional dan program pendidikan pada satuan pendidikan adalah modal yang dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan. Bekal itu pula akan melahirkan tingkat tranparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan yang lebih baik.
       Prosedural dan rasionalitas keberadaan komite sekolah seperti uraian di atas, menggugah hati kita semua untuk bertanya. Mengapa bantuan mereka selama ini selalu menjadi polemik yang tiada berujung? Untuk menjawab pertanyaan tersebut mungkin terlebih dahulu kita membiarkannya lepas, bebas, dalam bentuknya yang total, utuh dalam kemurniannya tanpa ada kepentingan lain yang akan menodainya. Hal itu dapat dilakukan dengan melihat peran dan fungsinya antara lain:
1.      Pendukung (supporting agency) memberi motivasi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Bentuk motivasi itu dapat berupa pemikiran, tenaga, atau dana.
2.      Pemberi pertimbangan (advisory agency), badan ini dapat mengajukan pertimbangan-pertimbangan terhadap program, anggaran, tenaga pendidikan, fasilitas pendidikan, dan ikut mencari solusi terhadap permasalahan sekolah terkait dengan upaya peningktan mutu pendidikan yang diinginkan.
3.      Pengawas ( controling agency ), pengawasan dalam hal transparansi, akuntabilitas, sehingga terjalin kerja sama yang solid atas manajemen keterbukaan antara sekolah dan komite sekolah.
4.      Mediator antara pemerintah dengan masyarakat, menjembatani hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekolah sehingga terbentuk suatu pola etika kerja yang kondusif.
       Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa komite sekolah adalah badan yang mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi pengelolaan  pendidikan di satuan pendidikan  yang berarti pula dinamika masing-masing badan ini sangat tergantung pada kondisi dan kebutuhan satuan pendidikan dimana badan tersebut berada. Atau dengan kata lain, intensitas kepedulian dan kerja sama antara masyarakat dengan sekolah merupakan modal dalam memberdayakannya dengan fokus pada pemenuhan mutu yang lebih kompetitif.
       Keberhasilan mensosialisasikan badan yang baru berusia relative muda ini telah merubah sikap dan pandangan masyarakat terhadap pentingnya pendidikan. Sambutan positif mereka sebagai mitra kerja sekolah telah membuahkan hasil yang patut dibanggakan. Pembangunan fisik sekolah misalnya, penambahan ruang kelas, pembuatan mushollah, pembuatan pagar pembatas dan lain-lain kebutuhan sekolah telah dilakukan. Bahkan lebih dari sekadar pembangunan fisik, masukan-masukan yang berupa saran-saran yang patut dipertimbangkan oleh pihak sekolah demi peningkatan pelayanan selalu datang dari komite sekolah.
       Sekiranya komite sekolah sebagai salah satu format desentralisasi pendidikan, serta otonomi daerah dapat menunjang pendidikan sekolah sangat memungkinkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang menurut catatan Human Development Index (HDI) tahun 2000 dan 2001  masih rendah akan beranjak naik bersamaan dengan mutu pendidikan sesuai dengan harapan dan cita-cita kita bersama menjadi kenyataan. Semoga! (Panduan dari berbagai sumber)

                                                                       Penulis adalah guru SMAN 1 Batukliang
                                                                     Lombok Tengah                                                                     





Selasa, 16 Juli 2013

Artikel Pendidikan


KURIKULUM DAN GURU HARUS SENAFAS
Oleh: Abd. Jafar M.Nur
Pemberlakuan kurikulum 2013 dalam dunia pendidikan di Tanah Air ini tak terbendungkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional melalui Dinas Pendidikan di masing-masing kabupaten/kota menunjuk sekolah-sekolah tertentu sebagai langkah uji coba. Sementara itu, sekolah yang lain tetap berpegang pada kurikulum sebelumnya yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Pelaksana proses pendidikan  terdepan dalam hal ini guru tak mampu berkomentar apa-apa. Apa yang menjadi keunggulan kurikulum baru dan apa kelemahan yang lama bukanlah ranah yang harus dipermasalahkan dalam ruang lingkup tugas seorang guru. Kendati uji coba pemberlakuan kurikulum yang baru (mungkin) tidak bisa kita katakan sebagai bentuk sikap keragu-raguan, tetapi bagi guru sikap optimis senantiasa menantang segala bentuk permasalahan yang menimpa mengingat ruang gerak guru yang sangat terbatas (hanya sebagai pelaksana).
Karena itu, langkah Kemdikbudnas yang mengawali pemberlakuan kurikulum 2013 dengan uji coba dapat mengundang berbagai pertanyaan antara lain: akankah pemberlakuan kurikulum 2013 akan ditarik kembali bila hasil uji coba tidak memenuhi harapan? Masih kurangkah kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan guru? Dan lain sebagainya. Pada tataan keoptimisan guru, sebenarnya pemberlakuan kurikulum 2013 harus serentak karena sangat jelas tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Guru diposisikan sebagai fasilisator yang mengondisikan suasana dan proses pembelajaran. Pembelajaran diselenggarakan berpusat pada murid dan diupayakan agar murid mampu mengembangkan potensi dirinya, (psl. 1 ayat 1). Dengan demikian pegangan guru sebagai fasilisator dapat dipastikan mampu mengkolaborasi proses pembelajaran yang variatif. Jika undang-undang sebagai acuan, maka hal tersebut berlaku pula untuk implementasi kurikulum yang diberlakukan. Kita menengok ke belakang, pada saat Undang-undang No. 2 tahun 1989 yang memposisikan guru sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang menyiapkan peserta didik bagi peranannya di masa depan. Pembelajaran perpusat pada keaktifan guru. Dinamika proses pembelajaran sangat tergantung pada kemampuan guru. Dalam hal ini pula seorang guru dituntut mampu membawakan materi pembelajaran dengan berbagai metode dan gaya dengan penekanan akhir pada ketercapaian tujuan pembelajaran.
Selajutnya, kita membuka kembali Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyematkan kompetensi bagi seorang guru. Ada empat kompetensi yang harus melekat pada jabatan tersebut, yaitu: kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi-kompetensi tersebut secara teoritis nyaris sempurna. Artinya, seseorang yang menyandang keempat kompentensi tersebut memberi makna tidak ada lagi keraguan bagi dirinya terhadap segala macam dan bentuk kurikulum yang akan diberlakukan tanpa sosialisasi sekalipun. Keprofesionalan yang disandangnya. seorang guru mampu menterjemahkan persoalan yang menghimpit bidang tugas sebagai konsekuensi  dan tanggung jawab. Pada dasarnya tidak ada yang aneh dalam setiap perubahan kurikulum. Kurikulum hanya batasan dan menjadi pegangan guru untuk melaksanakan tugas sesuai posisi dirinya atas petunjuk kurikulum tersebut. Yang pasti dalam suatu kurikulum adalah tempat penataan  materi pelajaran sesuai jenjang dan jenis lembaga pendidikannya. Batasan dan penataan materi pelajaran bukan menjadi wewenang guru. Guru, dalam merencanakan proses pembelajaran sudah cukup terbantu oleh arahan kurikulum. Dengan memperhatikan urutan kolom yang ada yang sekarang (kurikulum 2013) disebut sebagai Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Indikator, dan materi pelajaran.
Urutan kompetensi seperti disebutkan di atas sudah cukup jelas ke arah mana seorang guru memnyusun detail pembelajaran sesuai bidang tugas masing-masing. Detail pelajaran yang dimaksudkan adalah tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan tentu melalui alat bantu yang menunjang proses pembelajaran seperti metode dan atau media pembelajaran yang lainnya. Hal itu sudah menjadi darah daging bagi seorang guru. Terlebih lagi bahwa tujuan pembelajaran dapat dengan mudah diakses melalui terjemahan rinci dari indicator yang cukup jelas diramu oleh penentu kebijakan. Kurikulum 2013 memiliki jejak yang jelas yang menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bahwa sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal. Pertama. Hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran) dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua. Kandungan materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan keluaran tersebut sesuai dengan rencana (Kompas, 7 Maret 2013).
Jadi, kurikulum 2013 sebagai perubahan yang inovatif dalam bidang pendidikan di Tanah Air. Konsekuensi suatu perubahan tentu tak terelakan dalam bentuk pro-kontra. Mempersempit luas wilayah pro dan kontra, guru sebagai pemikul  utama, terdepan, dan juga terbawah tentu sarat barang di atas pundak tidak mungkin diturunkan tanpa rasa tanggung jawab, karena tanggung jawab juga sebagai bagian dari inovasi diri yang mutlak lahir sesuai tuntutan profesi. Karena itu, Kurikulum dan Guru harus Senafas. Interaksi inovatif dalam wilayah inilah roh perubahan itu bersemedi, menjadi kunci pembuka keberhasilan program inovasi tersebut. Dengan kata lain, kehadiran, implementasi  kurikulum 2013 sebagai inovasi pendidikan adalah penting dan yang jauh lebih penting adalah guru sebagai garda terdepan. Dalam wilayah inilah sering terjadi kontradiksi, sehingga melahirkan debat yang tak berujung dalam ruang dan waktu yang terus melaju. Kita hanya tahu bahwa kemajuan itu harus tergenggam kalau perlu tidak terlepaskan padahal alat genggam belum semuanya lengkap. Kita hanya menginginkan yang terbaru, padahal yang lama masih bisa diandalkan. Konsistensi kita masih sangat labil. Sebagai ilustrasi, kita tengok saja priode kabinet Mashuri, Soemantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Wardiman Djojonegoro, Wiranto Arismudandar, dan juga kabinet era reformasi, banyak gagasan dan ide inofatif. Namun, gagasan-gagasan itu terkesan bersifat tempurer, terlaksana sebatas masa jabatan menteri yang bersangkutan (Kompas, 13 Maret 2013).
Namun demikian, mengingat kehidupan kita tak pernah keluar dari interaksi social, maka menjjadi kewajiban kita bersama untuk tetap saling mengingatkan. Bahwa, untaian peristiwa masa lalu pasti menjelma sebagai pengalaman, sedangkan masa depan adalah kemungkinan. Dengan demikian, segala upaya yang kita lakukan pada masa kini adalah sebuah pengharapan positif untuk meraih masa depan yang lebih gemilang dengan pijakan pengalaman masa lalu. Jadi, uji coba sebagai tahapan yang pertama pemberlakuan kurikulum 2013 harus benar-benar mampu menunjukkan jati dirinya sebagai yang terbaik dari yang sebelumnya sehingga publik (masyarakat) akan terbungkam, sepi dalam kata tetapii sibuk dalam aktion sebagai pembuktian diri bahwa dia memang benar-benar suatu inovasi pendidikan yang cukup urgen untuk mengangkat derajadnya yang selalu menjadi keluhan semua pihak.
jika kita merunut terus benarlah bahwa kurikulum hanya sebagai kompas penentu arah, sedangkan  yang tidak bisa bersembunyi adalah action guru sebagai pegiat lapangan. Adalah filosof Betrand Rossel mengunkapkan, “More important than the curriculum is the question of the methods of teaching and the spirit in which the teaching is given.”  Selain kurikulum, menurut filosof tersebut yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana membelajarkan dan juga spiritnya. Kedua hal yang terakhir yaitu bagaimana membelajarkan dan spirit menjadi beban  pikul yang selalu bertengger di atas pundak sang guru. Terhadap hal bagaimana membelajarkan sangat kuat melekat mengikuti jabatan guru. Akan halnya dengan spirit, yang berkaitan erat dengan motivasi, semangat juang sering mendapat gangguan. Factor eksternal sering menampakkan diri dan menghantui dengan berbagai atribut sehingga penampilan serta kekuatannya cukup dahsyat. Akibatnya, guru yang bersangkutan mampu berselimut dalam argumen realitas, kalau tidak bisa disebut membenarkan diri sendiri, yang berujung pada sikap masa bodoh, apatis.
Namun  demikian, penentu kebijakan tidak bisa tidak untuk mempertimbangkan faktor penggoda tersebut agar keseimbangan tetap terjaga. Membiarkan ketidaknormalan berjalan terus tanpa upaya pencegahan sama artinya dengan mengelabui diri sendiri. Sebagai misal: secara teoritis, banyak guru yang telah memenuhi persyaratan sebagai guru professional yang dipaketkan dengan pemberian tunjangan profesi. Hal tersebut tidak bisa dikesampingkan  karena diatur lewat Undang-undang. Dengan demikian, pengimplementasian kurikulum dengan strategi yang tepat tetap terjaga dalam spirit pendidik, peserta didik selalu menggelora yang berujung pada proses pendidikan yang kondusif sebagai roh proses pembelajaran
Karena itu, para penentu kebijakan dalam bidang pendidikan khususnya dapat merenungkan titian terbaik dengan mempertimbangkan efetivitas dan efesiensi dengan jalan membentuk sikap pendidik/guru professional di Lembaganya. Produk lembaga tersebut diharapkan mampu menterjemahkan Buku Petunjuk, Buku Pedoman Pengimplementasian Kurikulum  kapan pun perubahan itu terjadi.  Diklat Guru Inti, Guru Pelatih, atau Diklat guru secara missal sebagai proses sosialisasi tentu akan memakan waktu yang relatif lama selain biaya yang tidak sedikit, juga para peserta merasa  tak terbebani karena dapat dimaknai  mengajarkan guru setelah menjadi guru. Jika demikian halnya, maka jasat pendidikan berjalan tanpa kesaktian apa-apa.

                                                                ABD.JAFAR M.NUR
                                            Guru SMA Negeri 1 Batukliang Lombok Tengah