Senin, 20 Oktober 2014

Asa berbungsus kata


Asa berbungsus kata

Presidenku presiden kita
Singgsana kau duduki
Jabatan yang kau kehendaki melalui suaraku suara kita
Suara anak bangsa menggema melewati tanjakan , meliuk pada tikungan
Menerabas ngarai dan lembah, menyeberangi samudera
Terik menyengat kuat, angin badai mengamuk, gelombang menghempas
Tapi suara terus melaju melawan kekuatan rintangan
Dan, tibalah suraku suara kita bertemu . berpadu  menjadi asa
Selesailah tugas suaraku suara kita
Kini, tinggal kepasrahan dalam doa
Menanti perubahan asa dalam kata menjadi asa kasat mata
Bukan suara dibalas suara

Rabu, 30 April 2014

PEMILU


PEMILU DALAM KEHIDUPAN BERDEMOKRASI
Oleh: Abd. Jafar M. Nur

Jika kita hanya mengotak-ngatik makna kata dalam bahasa, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang kasat mata sebagai sebuah hasil karya (bukan lambang). Karena itu, judul di atas menekankan pada proses bukan maknanya. Pemilu adalah proses. Kehidupan pun demikian, dan berdemokrasi juga sebuah proses dengan ruang dan waktu masing-masing. Pemilihan Umum (pemilu) merupakan kegiatan politik untuk menentukan siapa yang bakal menentukan kebijakan pemerintahan dan atau siapa yang akan berkuasa atas suatu pemerintahan yang akan mengatur, memelihara, dan meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Di dalamnya terdapat corak kehidupan, interaksi antarsesama dan interaksi dengan lingkungan yang hidup dalam suatu sistem  yang dipilih sebagai kesepakatan nasional yaitu demokrasi. Dengan kata lain, Negara Demokrasi.
Hampir semua Negara di dunia ini memilih pola hidup berdemokrasi, maka pemilihan umum sebagai proses politik Negara melalui sistem kepartaian sebagai mesin penentu rodaputar kehidupan warganya termasuk Negara tercinta ini,” Indonesia.” Perjalanan kehidupan berpola demokrasi ini telah sama-sama kita nikmati. Suka-duka, pahit-getir dengan neraca masing-masing individu yang memegang hak dasar sebagai warga Negara dapat dipastikan telah memegang kata kunci yang melekat pada diri. Dan, akan menjadi pegangan yang tidak dapat dikutak-katik oleh yang lainnya untuk digunakan dalam penentuan pilihan disetiap pemilihan umum tiba. Sebenarnya di Negara kita tercinta ini, interaksi demokratis semakin membaik. Hal tersebut dapat dilihat ketika pesta demokrasi tiba, seluruh warga Negara yang memiliki hak pilih datang berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai penjelmaan dari pola demokrasi “dari.” Mereka duduk-duduk atau sambil berdiri santai dengan hati berbunga-bunga, membungkus kata hati, menyimpan rahasia pilihan.ketika itu berakhirlah demokrasi dari, yang akan berlanjut menanti datangnya demokrasi “oleh.” Manakala nama dipanggil oleh petugas , mereka mengayun langkah menuju bilik suara tempat terakhir kerahasiaan mereka akan tercurahkan. Memilih sesuai pilihan yang selama ini tersimpan rapi. Setelah surat suara dimasukan ke dalam kotak suara, maka berakhirlah demokrasi oleh. Dengan penuh keyakinan atas pilihannya akan lebih unggul dari yang lainnya, mereka lalu pulang ke alamat masing-masing membawa kata hati dalam harapan terhadap kehidupan yang lebih gemilang di hari esok, menandai proses awal dari demokrasi “untuk.” Mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebagai bentuk partisipasi dalam menegakkan demokrasi.
Dengan demikian, warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak memilih bukan berarti komunikasi terputus sampai di sini, melainkan mereka akan menanti buah dari pilihannya itu. Malahan, nilai pemilihan berada setelah proses tersebut terlaksana. Nilai yang humanistic memang melekat pada setiap personal sehingga demokrasi untuk selalu memiliki sifat ketergangtungan. Artinya, tenggang waktu dalam proses demokrasi untuk itu sangat ditentukan oleh nilai humanistic penentu kebijakan atau pemegang kekuasaan sesuai dengan pilihan kita tadi. Jika sepak terjang setiap personal penentu tadi, baik penentu kebijakan maupun pemegang kekuasaan secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap amanat rakyat yang diberikan melalui demokrasi dari, oleh, dan untuk tadi akan berjalan sesuai saluran irigasi yang telah dibangun sebelumnya. Kondisi inilah yang mewarnai dinamika  kehidupan masyarakat. Dan, disini pula terjadi proses pendidikan politik tumbuh dan berkembang (berkehidupan) masyarakat yang akan menjelmakan nilai raport terhadap pilihannya tadi.
Kehidupan bermasyarakat dalam konteks politik berlangsung secara bersamaan menggandeng nilai materiil dan moral spiritual yang akan melahirkan dan memvonis pilihannya dalam pernyataan baik-buruk.  Penilaian baik diberikan apabila rasa aman dan pemenuhan kebutuhan hidup dirasakan tidak melilit, demikian sebaliknya. Ketika segala aspek kehidupan tak mampu lagi bersembunyi seperti saat ini, maka sering terjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya akan menjelma di hadapan kita secara tak terduga. Seperti apa yang dicontohkan oleh kenyataan sekarang. Kendati pilar star demokrasi itu mengacu pada prinsip trias politica yaitu Legesltif, Eksekutif, Yudikatif, seperti tak mampu bernapas lagi. Tumpuan harapan pemilih berada di lembaga ini yang sekarang telah ditaburi putih telur oleh oknumnya sendiri. Predikat, baik, terhormat, bermartabat, ada lagi sebutan yang mulia, kata-kata pilihan dalam makna yang selalu kita banggakan. Sekarang makna itu malu bergandengan dengan jasadnya. Entah di mana dia bersembunyi. Atau kapankah makna itu dapat bernesrah kembali? Panggung demokrasi datang lagi sebentar. Pemilih harus selektif. Menempatkan suara jangan terpedaya. Pengalaman telah berbicara. Tampan wajah tak lagi berdaya. Indah tutur hanya gema. Ada janji pemikat. Bahkan, bingkisan beterbangan tanpa sayap hinggap dimana-mana.
Oleh sebab itu, pemilih jangan golput. Ini sebuah perjalanan jauh yang lintasannya masih dalam rekaan. Yang jelas, di alam fana ini tak ada keabadian. Semuanya pasti berakhir. Roda selalu berputar. Semulus-mulus jalan raya berhotmex, getaran pasti terasa. Kita tidak boleh berputus asa, karena suka dan duka selalu bergantian. Ketika korupsi, kolusi, nepotisme menghantui wajah negeri, ratapan anak pertiwi menjadi hiasan berdaki, dan kita menaruh harapan pada tangan hukum untuk memborgol. Tapi, kekuatan genggamannya pun tak lagi mampu untuk melawan otot yang lebih dahulu terbentuk. Tangan hukum tak menjangkau. Anak pertiwi terus meratap, mengiringi waktu yang terus merayap. Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi berkeinginan serius maju sambil memikul segudang bukti. Namun, bukti pun masih membutuhkan saksi, sementara waktu tak pernah berhenti. Nilai kebenaran begitu mahal. Nilai kejujuran apalagi. Tidak usah kita bicarakan  keadilan, karena indikatornya yang dinamis. Nilai  kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang semakin gelap yang menghadang laju siraman yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat hilir. Lalu, adakah yang merasa tersinggung ketika tiba waktunya nanti terbaca penilaian kaum duafa melalui hasil pesta demokrasi 2014? Penulis berpendapat, kita harus  merasa puas karena suatu kekuatan pondamental sebagai hak dan kewajiban yang tak bisa dikutak-katik (kehidupan berdemokrasi) yang bertanggung jawab dapat berlangsung dengan baik, tertib, aman, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber). Pada saat itulah kita semua digiring untuk belajar menerima sebuah kenyataan yang mungkin berada di luar keinginan kita sendiri (kehidupan berdemokrasi yang beretika).
Mengingat kedaulatan rakyat jauh lebih besar dari pada kedaulatan yang lainnya, maka seyogyanya ketiga lembaga Negara (Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif) dapat merakit demokrasi kepemimpinan yang menyeluruh sehingga pelayanan public lebih optimal. Demokratisasi kepemimpinan yang dimaksud akan mampu menjadi bahan pengawet dan sekaligus menjadi payung penyejuk manakala public berinteraksi dengan ligkungan. Dan, juga sebagai bentuk kesungguhan penguasa dalam memenuhi hajat hidup orang banyak sesuai undang-undang yang berlaku. Keterbukaan zaman saat ini mengharuskan penguasa bukan saja pada peningkatan pelayanan, tapi sudah harus menjurus pada peningkatan kualitas. Pelayanan tidak semata-mata untuk menghilangkan rasa lapar, akan tetapi pendistribusian pelayanan sudah harus menimbang berbagai multivitamin sebagai kapsul konsumtif. Hal tersebut bukan suatu keanehan, karena arah laju pemerintahan demokrasi adalah peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai langkah awal dalam upaya menjadikan bangsa yang lebih bermartabat.
Andaikan kita tulus dan mau menegok ke belakang terhadap kerja dan kinerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang juga terdiri atas Tokoh-tokoh politik, pemimpin sejati yang ditandai oleh hasil sidang-sidang yang nyaris sempurna. Tak terlihat argumentasi egois. Mereka selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (rakyat). Argumentasi egois hanya untuk kepentingan lahir sebuah negara, nusa dan bangsa.
Jadi, demokrasi sebagai alat kita menuju tujuan yang telah dicanangkan jauh sebelum kita berproses yaitu  masyarakat sejahtera yang berkemakmuran dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tangguh. Suatu cita-cita luhur yang diamanatkan oleh pendiri bangsa ini sebenarnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diraih jika para wakil rakyat, pemerintah hasil Pemilu bergandengan tangan bekerja secara bersama-sama memegang dan menjalankan amanat Undang-undang demi orang banyak, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka harus mau dan mampu menyadari diri bahwa jabatan itu sebagai alat interaksi sebuah proses menata hidup orang lain. Jabatan bukan kesempatan untuk melipatgandakan kekayaan.
Jadi, kita tak perlu lagi terperangah terhadap definisi tentang demokrasi karena zaman terlampau jauh meninggalkan kita. Aplikasi nyata adalah kebutuhan rakyat bukan teori retorika. Antusias rakyat menuju tempat pemungutan suara (TPS) yang mengawali proses berdemokrasi (dari dan oleh) harus dijamu mahal melalui aksi nyata (bukan janji dusta). Tanggal 9 April 2014 KPU menyodorkan waktu untuk menutup halaman lama dan sekaligus membalik lembaran  baru apakah rakyat masih berteman dengan keluhan ataukah dia akan tertawa terkekeh-kekeh? Jawabannya tidak ada di sini dan bukan pula ada di sana, tapi jawaban itu tertanam dalam nurani siapa nantinya yang akan terpilih.
                                                                                Penulis adalah Guru SMA 1 Batukliang
                                                                                                Lombok tengah.



Selasa, 14 Januari 2014


PENDIDIKAN, GURU, & KURIKULUM
Oleh: Abd. Jafar M.Nur
Guru dan kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai mata rantai yang tak terpisahkan. Sebagai pelaku kurikulum, mengharuskan guru berbuat mengikuti dinamika  zaman yang tak mungkin tersekat oleh apa pun. Kurikulum sebagai amanat pendidikan adalah muatan yang harus dipikul kuat dan melekat dalam tugas seorang guru. Tataan materi pembelajaran merupakan isi sentral sebuah kurikulum. Dengan kata lain, kurikulum sebagai model langkah pendidikan suatu bangsa, kompas bangsa untuk melaju. Maka, kurikulum harus berwujud kesepakatan nasional demi kemajuan bangsa Indonesia  (kemajuan bersama). Sebagai pelaksana pendidikan bangsa terdepan, guru tidak akan mempermasalahkan perubahan kurikulum.
Perubahan kurikulum sebagai bagian dari hasil reformasi dalam bidang pendidikan tentu dinilai hanya ada dan terjadi demi kemajuan bangsa. Orientasi perubahan tersebut pada kepentingan bangsa Indonesia ke depan dalam berinteaksi dengan dirinya, berinteraksi dengan Negara lain secara global. Jadi, perubahan kurikulum pendidikan memiliki konsekuensi kontinyuitas yang tinggi. Jika tidak, maka hasil yang kita raih akan datang sepotong-sepotong dalam bentuk dan wajah yang berbeda. Hal itu terjadi mungkin disebabkan karena setiap perubahan kurikulum selalu diikuti perdebatan yang tak pernah berakhir dengan bentuk dan  tekad yang tak pernah menyatu dalam keutuhan, sehingga kekuatan perubahan itu terkuras oleh debat yang tidak berujung. Padahal kita menyadari bahwa kekuatan kita terdapat dalam kemampuan menerima, merakit perbedaan menjadi semangat juang bersama. Jika kita sejenak menengok ke belakang, betapa bangsa-bangsa lain peserta APEC di penghujung tahun 1994 manggut-mangut memuji keberhasilan bangsa kita menyelenggarakan Konferensi AFEC.
“Pertemuan kerjasama ekonomi Negara-negara Pasifik itu yang memberlakukan perdagangan bebas tahun 2020 untuk Negara berkembang, dan tahun 2010 untuk Negara maju” (Kompas, Januari 1995). Ini berarti, bahwa kita tidak boleh hanya berbangga diri dengan kesuksesan normative tanpa harus menyingsingkan lengan baju untuk berupaya keras. Kesuksesan tersebut sebagai aba-aba yang semestinya harus berwujud sebagai gerakan moril dan sekaligus skill (keterampilan) sebagai bekal dalam setiap gerakan nyata. Tuntutan terhadap perjuangan hidup yang lebih baik sudah pasti, tetapi lebih dari itu untuk menghadapi persaingan dengan pihak lain harus lebih diutamakan. Dan, itulah nafas perjuangan hidup yang sebenarnya yang sesuai dengan tuntutan global. Globalisasi sebagai gerak sosial masyarakat tentu tak terlepas dari dinamika social yang ada, maka kedinamikaan masyarakat dalam era global mau tidak mau harus berpayung dalam suatu etika yang dinamis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterima oleh semua pihak.
 Hal tersebut berarti kita harus mampu menerima, menghadapi etika dan tata cara berdagang dalam pasar bebas. Sebuah tantangan yang tidak boleh terabaikan apalagi terlupakan bahwa kita mau tidak mau harus mampu bersiap diri dalam menghadapi perkembangan tersebut. Karena itu, perubahan kurikulum yang kini sudah berlaku harus menjadi “besi baja” yang tidak boleh bengkok apalagi sampai patah. Kekuatan yang dimaksud adalah tahapan perolehan dari hasil pendidikan yang secara terus menerus berbenah dalam sebuah proses untuk melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal. Kehandalan SDM dimaksud akan terpenuhi apabila terjadi tahapan proses yang berkelanjutan dari setiap jenjang pendidikan yang ada. Dan, itulah alasan kita mengapa perubahan kurikulum sedapat mungkin memiliki korelasi berkelanjutan dengan merakit hasil masa silam. Penekanan tersebut tentu akan berpeluang cukup signifikan terhadap kehandalan SDM Indonesia yang memiliki kemampuan bersaing dalam percaturan global. Kemampuan bersaing dalam hal ini mengandung makna keterampilan bertindak (skill action) yang berlandaskan pengetahuan (pengetahuan/kognitif) sebagai hasil proses pembelajaran. Karena itu, proses pembelajaran di kelas mengarahkan guru untuk memiliki kemampuan membaca setiap perubahan yang ada termasuk perubahan kurikulum yang sedang diberlakukan. Peka terhadap setiap dinamika zaman sebagai konsekuensi tugas guru ke depan.
Perubahan harus diterjemahkan sebagai kemajuan bersama, kemajuan bangsa. Tanpa semangat tersebut, perubahan kurikulum hanya menyisakan keluhan dan ratapan sehingga perjalanan proses pembelajaran di kelas dianggap sebagai beban yang akan berimbas pada turunnya semangat juang. Guru harus menyadari batas tugasnya. Kurikulum hanya salah satu perangkat tempat tataan elemen tugas, mengkaji materi pembelajaran yang akan dibawa ke hadapan peserta didik. Sedangkan yang lainnya adalah petunjuk ke arah mana kita akan melaju. Artinya, didalam kurikulum terdapat bagian yang menjadi tugas guru secara langsung, sedangkan bagian yang lainnya berfungsi sebagai petunjuk jalan. Istilah di dalam kurikulum 2013 itu disebut sebagai Kompetensi Inti (KI)
Petunjuk itu adalah kebijakan pihak lain, bukan tugas guru. Guru harus focus mempertajam kata hati terhadap penterjemahkan setiap perubahan yang terjadi demi pelaksanaan tugas yang lebih professional. Dengan demikian, relevansi persyaratan dengan tugas emban seorang guru akan menjadi kompetensi tersendiri yang melekat pada diri seorang guru. Namun demikian, banyak kalangan sekarang ini yang menyorot mutu pendidikan di tanah air selalu berujung pada kemampuan dan profesionalisme guru yang belum memadai. Guru selalu dijadikan sandaran pijak dari seluruh persoalan pendidikan kita.
Suatu ironi universal telah melumpuhkan mata hati kita karena guru hanya sebuah elemen kecil terhadap factor-faktor penentu mutu pendidikan yang lainnya. Terlebih lagi bahwa mutu pendidikan itu melekat pada pihak lain yang memiliki eksistensi tersendiri dalam kedudukannya dengan lingkungan yang selalu berubah. Kondisi tersebut tak pernah tampak ketika neraca penilaian mutu dilakukan. Padahal keberadaan guru saat ini lahir dari sebuah tataan kebijakan yang telah teruji. Lebih lanjut kita telusuri, bahwa mutu pendidikan yang kita perbincang sekarang ini bukan bentuk akhir dari sebuah proses pembelajaran. Apa yang tergambar saat ini kita akui bersama sebagai sebuah determination, sebuah bentuk peristirahatan dalam melirik bentuk berikutnya. Jadi, ketercapaian mutu pendidikan saat ini belumlah wajar menjadi bahan tudingan, bahan perdebatan yang tiada mengenal kata syukur karena belum memuaskan semua pihak. Dalam teori tersaji kalau pendidikan itu harus menjadi tanggung jawab bersama ( pemerintah, orang tua, dan masyarakat ). Jika ketiga tokoh ini beriringan, sejalan, dalam implementasinya mungkin bentuk keberhasilan yang kita dambakan tidak terlalu sulit untuk diraih. Tapi, yang terjadi selama ini ketika terjadi suatu permasalahan dalam proses pendidikan kadang-kadang ketiga tokoh  itu saling lempar. Dan,yang paling sering terpojok adalah posisi guru. Tidak sedikit indikasi yang tampak, sehingga sering terdengar “kalau murid/peserta didik yang berhasil, orang tua yang dicari/ditanya. Dan, jika peserta didik yang tertimpa masalah/nakal, yang disebut-sebut adalah gurunya.” Posisi guru memang sering terpojok karena gambaran wilayah latar yang tidak terbaca kasat mata. Kita cermati lebih dalam bahwa pada umumnya sekolah di Negara kita dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe yang dilihat dari motivasi belajar peserta didik. Tipe yang pertama adalah sekolah yang menampung anak yang datang bersekolah (datang belajar). Tipe yang kedua adalah sekolah yang menampung peserta didik yang datang bersekolah dan juga yang disuruh datang bersekolah (disuruh belajar). Berhadapan dengan sekolah yang tergolong tipe kedua, cukup mempengaruhi proses pembelajaran yang berdampak terhadap hasil belajar.
Guru tidak terlalu mempermasalahkan kenyataan itu. Pendidik penerus generasi bangsa itu hanya menanti orang yang mau bersyukur. Guru sangat menyadari kalau kondisi seperti itu tidaklah cocok untuk mencari siapa yang benar dan pihak mana yang bersalah. Keputusan yang bijak selalu memperhatikan kepentingan anak demi perkembangan masa depan mereka yang gemilang. Jika Undang-undang Dasar 1945 sebagai acuan, terutama kita mencermati tujuan bangsa Indonesia yang termuat dalam alinea ke IV, “…untuk mencerdaskan kehidupan bangsa…” patut menjadi bahan perenungan kita bersama. Bahwa, segala bentuk proses penbelajaran baik melalui pendidikan formal, informal, dan non formal hanya semata-mata untuk mencerdaskan kehidupan, bukan mencerdaskan otak/kognitif semata. Karena kehidupan sebagai proses, maka beberapa model kompetensi harus dimiliki oleh anak-anak/peserta didik. Misalnya kompetensi berkomunikasi, kompetensi keterampilan khusus, kompetensi social, serta etika dan estetika. Dan, juga kompetensi diri  sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. Sosok manusia seperti itulah yang akan menentukan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang sebenarnya. Yaitu manusia Indonesia yang cerdas otaknya, cerdas perasaannya, dan cerdas etikanya, sehingga mereka mampu memiliki, tetap mengimplementasikan wujud syukur dalam kondisi apa pun.
Seandainya kita memiliki pandangan dan kesepakatan bersama terhadap makna “mencerdaskan kehidupan bangsa”  tersebut, maka Ujian Nasional (UN) yang selama ini kita laksanakan yang hanya mengukur tingkat kecerdasan otak peserta didik akan mampu memilah/menyeleksi, menentukan kualitas sebagai totalitas nilai kemanusiaan secara universal. Dengan demikian, jika perubahan kurikulum mengarahkan kita untuk memiliki sumber daya manusia yang handal (baca, berkarakter) sebagai amanat Kompetensi Inti yang terjabar di dalam Kurikulum 2013 akan membawa angin segar sebagai momentum awal bagi guru untuk memulai berproses dengan semangat, arah,  dan tujuan yang lebih kompleks demi kualitas yang berdaya rekat kuat terhadap seluruh kompetensi  nilai kemanusiaan yang utuh.  Jika, kurikulum masa lalu telah menghimpun berbagai pengalaman dan kita telah menikmati hasilnya, diri kita juga yang mengeluhkan produknya, lalu, apa bentuk hasil yang kita inginkan bila ruh perubahan itu tetap seperti sediakala?
Selain itu,  ada lagi kealpaan kita dalam hal mengevaluasi mutu pendidikan selama ini. Jika pendidikan sebagai kegiatan memproses input yang berkedudukan sebagai bibit. Dan, kita mengenal ada bibit unggul serta bibit tidak unggul. Kedua macam input tersebut berkolaborasi melalui program peningkatan mutu pendidikan dan program pemerataan pendidikan. Kedua tipe input pendidikan itu menyatu dalam dua program yang tidak menyapa satu dengan yang lainnya. Lalu, tidakkah rendahnya kualitas mutu pendidikan yang sekarang kita tumpahkan semuanya ke wajah sang guru sebagai sebuah kewajaran?
Kita harus mengakui bahwa orang-orang pintar Indonesia saat ini adalah produk kurikulum masa lalu. Kita mengeluh terhadap mereka karena ketidakmampuan mereka mewakili diri serta teladan bagi yang lainnya untuk dikatakan berkualitas yang utuh, lalu tudingan berikut  mengarah kepada kemampuan guru di lapangan. Padahal, kita memahami kalau sekolah itu bukan pabrik akhir. Namun, guru menyadari diri, mengakui  kegagalannya bila  Ujian Nasional tetap dipakai sebagai satu-satunya indikator mutu pendidikan dalam makna “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Maka, kehadiran kurikulum 2013 dengan designer proses pembelajaran yang aktif,kreatif, inovatif,yang berpayung pada pengembangan nilai-nilai karakter tertentu  sehingga peserta didik memiliki pengetahuan yang tidak hanya berasaskan intelektualitas semata, tetapi pengetahuan yang lebih kompleks ( cerdas otaknya, cerdas perasaannya, dan cerdas tindakannya). Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah terbukanya peluang guru dan peserta didik untuk melatih, memiliki, dan menumbuhkembangkan budaya bernalar. Karena,  intelektualitas yang tak berpayung nalar dan moral sungguh menakutkan kita semua. Harapan kita tertuju kepada upaya keras guru melalui pengimplementasian kurikulum 2013 mampu terwujudnya kehidupan berbangsa yang cerdas, bernalar  dan berkarakter.


Penulis adalah Guru SMA Negeri I Batukliang Lombok Tengah.