PENDIDIKAN, GURU, &
KURIKULUM
Oleh: Abd. Jafar M.Nur
Guru dan kurikulum dalam dunia pendidikan sebagai mata rantai yang tak
terpisahkan. Sebagai pelaku kurikulum, mengharuskan guru berbuat mengikuti
dinamika zaman yang tak mungkin tersekat
oleh apa pun. Kurikulum sebagai amanat pendidikan adalah muatan yang harus
dipikul kuat dan melekat dalam tugas seorang guru. Tataan materi pembelajaran
merupakan isi sentral sebuah kurikulum. Dengan kata lain, kurikulum sebagai
model langkah pendidikan suatu bangsa, kompas bangsa untuk melaju. Maka,
kurikulum harus berwujud kesepakatan nasional demi kemajuan bangsa Indonesia (kemajuan bersama). Sebagai pelaksana
pendidikan bangsa terdepan, guru tidak akan mempermasalahkan perubahan
kurikulum.
Perubahan kurikulum sebagai bagian dari hasil reformasi dalam bidang
pendidikan tentu dinilai hanya ada dan terjadi demi kemajuan bangsa. Orientasi
perubahan tersebut pada kepentingan bangsa Indonesia ke depan dalam berinteaksi
dengan dirinya, berinteraksi dengan Negara lain secara global. Jadi, perubahan
kurikulum pendidikan memiliki konsekuensi kontinyuitas yang tinggi. Jika tidak,
maka hasil yang kita raih akan datang sepotong-sepotong dalam bentuk dan wajah
yang berbeda. Hal itu terjadi mungkin disebabkan karena setiap perubahan
kurikulum selalu diikuti perdebatan yang tak pernah berakhir dengan bentuk dan tekad yang tak pernah menyatu dalam keutuhan,
sehingga kekuatan perubahan itu terkuras oleh debat yang tidak berujung.
Padahal kita menyadari bahwa kekuatan kita terdapat dalam kemampuan menerima,
merakit perbedaan menjadi semangat juang bersama. Jika kita sejenak menengok ke
belakang, betapa bangsa-bangsa lain peserta APEC di penghujung tahun 1994
manggut-mangut memuji keberhasilan bangsa kita menyelenggarakan Konferensi AFEC.
“Pertemuan kerjasama ekonomi Negara-negara Pasifik itu yang memberlakukan
perdagangan bebas tahun 2020 untuk Negara berkembang, dan tahun 2010 untuk
Negara maju” (Kompas, Januari 1995). Ini berarti, bahwa kita tidak boleh hanya
berbangga diri dengan kesuksesan normative tanpa harus menyingsingkan lengan
baju untuk berupaya keras. Kesuksesan tersebut sebagai aba-aba yang semestinya
harus berwujud sebagai gerakan moril dan sekaligus skill (keterampilan) sebagai
bekal dalam setiap gerakan nyata. Tuntutan terhadap perjuangan hidup yang lebih
baik sudah pasti, tetapi lebih dari itu untuk menghadapi persaingan dengan
pihak lain harus lebih diutamakan. Dan, itulah nafas perjuangan hidup yang
sebenarnya yang sesuai dengan tuntutan global. Globalisasi sebagai gerak sosial
masyarakat tentu tak terlepas dari dinamika social yang ada, maka kedinamikaan
masyarakat dalam era global mau tidak mau harus berpayung dalam suatu etika
yang dinamis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diterima
oleh semua pihak.
Hal tersebut berarti kita harus
mampu menerima, menghadapi etika dan tata cara berdagang dalam pasar bebas.
Sebuah tantangan yang tidak boleh terabaikan apalagi terlupakan bahwa kita mau
tidak mau harus mampu bersiap diri dalam menghadapi perkembangan tersebut.
Karena itu, perubahan kurikulum yang kini sudah berlaku harus menjadi “besi
baja” yang tidak boleh bengkok apalagi sampai patah. Kekuatan yang dimaksud
adalah tahapan perolehan dari hasil pendidikan yang secara terus menerus
berbenah dalam sebuah proses untuk melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
handal. Kehandalan SDM dimaksud akan terpenuhi apabila terjadi tahapan proses
yang berkelanjutan dari setiap jenjang pendidikan yang ada. Dan, itulah alasan
kita mengapa perubahan kurikulum sedapat mungkin memiliki korelasi
berkelanjutan dengan merakit hasil masa silam. Penekanan tersebut tentu akan
berpeluang cukup signifikan terhadap kehandalan SDM Indonesia yang memiliki
kemampuan bersaing dalam percaturan global. Kemampuan bersaing dalam hal ini
mengandung makna keterampilan bertindak
(skill action) yang berlandaskan pengetahuan (pengetahuan/kognitif) sebagai
hasil proses pembelajaran. Karena itu, proses pembelajaran di kelas mengarahkan
guru untuk memiliki kemampuan membaca setiap perubahan yang ada termasuk perubahan
kurikulum yang sedang diberlakukan. Peka terhadap setiap dinamika zaman sebagai
konsekuensi tugas guru ke depan.
Perubahan harus diterjemahkan sebagai kemajuan bersama, kemajuan bangsa.
Tanpa semangat tersebut, perubahan kurikulum hanya menyisakan keluhan dan
ratapan sehingga perjalanan proses pembelajaran di kelas dianggap sebagai beban
yang akan berimbas pada turunnya semangat juang. Guru harus menyadari batas
tugasnya. Kurikulum hanya salah satu perangkat tempat tataan elemen tugas,
mengkaji materi pembelajaran yang akan dibawa ke hadapan peserta didik.
Sedangkan yang lainnya adalah petunjuk ke arah mana kita akan melaju. Artinya,
didalam kurikulum terdapat bagian yang menjadi tugas guru secara langsung,
sedangkan bagian yang lainnya berfungsi sebagai petunjuk jalan. Istilah di
dalam kurikulum 2013 itu disebut sebagai Kompetensi Inti (KI)
Petunjuk itu adalah kebijakan pihak lain, bukan tugas guru. Guru harus
focus mempertajam kata hati terhadap penterjemahkan setiap perubahan yang terjadi
demi pelaksanaan tugas yang lebih professional. Dengan demikian, relevansi
persyaratan dengan tugas emban seorang guru akan menjadi kompetensi tersendiri
yang melekat pada diri seorang guru. Namun demikian, banyak kalangan sekarang
ini yang menyorot mutu pendidikan di tanah air selalu berujung pada kemampuan
dan profesionalisme guru yang belum memadai. Guru selalu dijadikan sandaran
pijak dari seluruh persoalan pendidikan kita.
Suatu ironi universal telah melumpuhkan mata hati kita karena guru hanya
sebuah elemen kecil terhadap factor-faktor penentu mutu pendidikan yang
lainnya. Terlebih lagi bahwa mutu pendidikan itu melekat pada pihak lain yang
memiliki eksistensi tersendiri dalam kedudukannya dengan lingkungan yang selalu
berubah. Kondisi tersebut tak pernah tampak ketika neraca penilaian mutu dilakukan.
Padahal keberadaan guru saat ini lahir dari sebuah tataan kebijakan yang telah
teruji. Lebih lanjut kita telusuri, bahwa mutu pendidikan yang kita perbincang
sekarang ini bukan bentuk akhir dari sebuah proses pembelajaran. Apa yang
tergambar saat ini kita akui bersama sebagai sebuah determination, sebuah
bentuk peristirahatan dalam melirik bentuk berikutnya. Jadi, ketercapaian mutu
pendidikan saat ini belumlah wajar menjadi bahan tudingan, bahan perdebatan
yang tiada mengenal kata syukur karena belum memuaskan semua pihak. Dalam teori
tersaji kalau pendidikan itu harus menjadi tanggung jawab bersama ( pemerintah,
orang tua, dan masyarakat ). Jika ketiga tokoh ini beriringan, sejalan, dalam implementasinya
mungkin bentuk keberhasilan yang kita dambakan tidak terlalu sulit untuk
diraih. Tapi, yang terjadi selama ini ketika terjadi suatu permasalahan dalam
proses pendidikan kadang-kadang ketiga tokoh
itu saling lempar. Dan,yang paling sering terpojok adalah posisi guru.
Tidak sedikit indikasi yang tampak, sehingga sering terdengar “kalau
murid/peserta didik yang berhasil, orang tua yang dicari/ditanya. Dan, jika
peserta didik yang tertimpa masalah/nakal, yang disebut-sebut adalah gurunya.” Posisi
guru memang sering terpojok karena gambaran wilayah latar yang tidak terbaca
kasat mata. Kita cermati lebih dalam bahwa pada umumnya sekolah di Negara kita
dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe yang dilihat dari motivasi belajar peserta
didik. Tipe yang pertama adalah sekolah yang menampung anak yang datang
bersekolah (datang belajar). Tipe yang kedua adalah sekolah yang menampung
peserta didik yang datang bersekolah dan juga yang disuruh datang bersekolah
(disuruh belajar). Berhadapan dengan sekolah yang tergolong tipe kedua, cukup
mempengaruhi proses pembelajaran yang berdampak terhadap hasil belajar.
Guru tidak terlalu mempermasalahkan kenyataan itu. Pendidik penerus
generasi bangsa itu hanya menanti orang yang mau bersyukur. Guru sangat
menyadari kalau kondisi seperti itu tidaklah cocok untuk mencari siapa yang
benar dan pihak mana yang bersalah. Keputusan yang bijak selalu memperhatikan
kepentingan anak demi perkembangan masa depan mereka yang gemilang. Jika
Undang-undang Dasar 1945 sebagai acuan, terutama kita mencermati tujuan bangsa
Indonesia yang termuat dalam alinea ke IV, “…untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa…” patut menjadi bahan perenungan kita bersama. Bahwa, segala bentuk
proses penbelajaran baik melalui pendidikan formal, informal, dan non formal
hanya semata-mata untuk mencerdaskan kehidupan, bukan mencerdaskan
otak/kognitif semata. Karena kehidupan sebagai proses, maka beberapa model kompetensi
harus dimiliki oleh anak-anak/peserta didik. Misalnya kompetensi berkomunikasi,
kompetensi keterampilan khusus, kompetensi social, serta etika dan estetika.
Dan, juga kompetensi diri sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa. Sosok manusia seperti itulah yang akan menentukan
kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia yang sebenarnya. Yaitu manusia Indonesia
yang cerdas otaknya, cerdas perasaannya, dan cerdas etikanya, sehingga mereka
mampu memiliki, tetap mengimplementasikan wujud syukur dalam kondisi apa pun.
Seandainya kita memiliki pandangan dan kesepakatan bersama terhadap makna
“mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut,
maka Ujian Nasional (UN) yang selama ini kita laksanakan yang hanya mengukur
tingkat kecerdasan otak peserta didik akan mampu memilah/menyeleksi, menentukan
kualitas sebagai totalitas nilai kemanusiaan secara universal. Dengan demikian,
jika perubahan kurikulum mengarahkan kita untuk memiliki sumber daya manusia
yang handal (baca, berkarakter) sebagai amanat Kompetensi Inti yang terjabar di
dalam Kurikulum 2013 akan membawa angin segar sebagai momentum awal bagi guru
untuk memulai berproses dengan semangat, arah, dan tujuan yang lebih kompleks demi kualitas
yang berdaya rekat kuat terhadap seluruh kompetensi nilai kemanusiaan yang utuh. Jika, kurikulum masa lalu telah menghimpun
berbagai pengalaman dan kita telah menikmati hasilnya, diri kita juga yang
mengeluhkan produknya, lalu, apa bentuk hasil yang kita inginkan bila ruh
perubahan itu tetap seperti sediakala?
Selain itu, ada lagi kealpaan kita
dalam hal mengevaluasi mutu pendidikan selama ini. Jika pendidikan sebagai kegiatan
memproses input yang berkedudukan sebagai bibit. Dan, kita mengenal ada bibit
unggul serta bibit tidak unggul. Kedua macam input tersebut berkolaborasi
melalui program peningkatan mutu pendidikan dan program pemerataan pendidikan. Kedua
tipe input pendidikan itu menyatu dalam dua program yang tidak menyapa satu
dengan yang lainnya. Lalu, tidakkah rendahnya kualitas mutu pendidikan yang
sekarang kita tumpahkan semuanya ke wajah sang guru sebagai sebuah kewajaran?
Kita harus mengakui bahwa orang-orang pintar Indonesia saat ini adalah
produk kurikulum masa lalu. Kita mengeluh terhadap mereka karena ketidakmampuan
mereka mewakili diri serta teladan bagi yang lainnya untuk dikatakan
berkualitas yang utuh, lalu tudingan berikut mengarah kepada kemampuan guru di lapangan.
Padahal, kita memahami kalau sekolah itu bukan pabrik akhir. Namun, guru
menyadari diri, mengakui kegagalannya
bila Ujian Nasional tetap dipakai
sebagai satu-satunya indikator mutu pendidikan dalam makna “mencerdaskan
kehidupan bangsa.” Maka, kehadiran kurikulum 2013 dengan designer proses
pembelajaran yang aktif,kreatif, inovatif,yang berpayung pada pengembangan
nilai-nilai karakter tertentu sehingga peserta
didik memiliki pengetahuan yang tidak hanya berasaskan intelektualitas semata,
tetapi pengetahuan yang lebih kompleks ( cerdas otaknya, cerdas perasaannya,
dan cerdas tindakannya). Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah terbukanya
peluang guru dan peserta didik untuk melatih, memiliki, dan menumbuhkembangkan
budaya bernalar. Karena, intelektualitas
yang tak berpayung nalar dan moral sungguh menakutkan kita semua. Harapan kita
tertuju kepada upaya keras guru melalui pengimplementasian kurikulum 2013 mampu
terwujudnya kehidupan berbangsa yang cerdas, bernalar dan berkarakter.
Penulis adalah Guru SMA Negeri I
Batukliang Lombok Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berbagi...