PROFESI GURU,
PRESTASI GURU, & GURU BERPRESTASI
Oleh: Abd. Jafar
M.Nur
Kebodohan dan kemiskinan. Dua kondisi yang
hingga saat ini belum terungkap yang mana bertindak sebagai penyebab dan yang
mana sebagai akibat. Apakah dia miskin karena bodoh, atau dia badoh disebabkan
oleh kemiskinan? Untuk mendapatkan
jawaban yang pasti mungkin kita akan berdebat dalam waktu yang tak terbatas.
Maka, hal itu tak perlu kita lakukan. Yang jelas, kita beraksi dari lini yang
berbeda.
Pendidikan! Kita berupaya meningkatkan kesejahteraan dengan jalan
melenyapkan kebodohan, maka pendidikan berperan utama. Pembicaraan tentang
pendidikan, maka guru menjadi fokus utama. Pembinaan terhadap kinerja guru agar
lebih kompetitif perlu dikedepankan. Namun, penanganan implementasi pendidikan
itu sendiri harus lebih universal, karena seluruh elemen pendidikan memiliki
keterkaitan yang tak mungkin terpisahkan satu dengan yang lainnya.
Menyadari bahwa pendidikan
sebagai alat kemajuan bangsa, maka pendahulu kita dan para cerdikpandai yang
berkecimpung dalam dunia pendidikan memanfaatkan kebenaran itu dengan melakukan
langkah nyata. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional sebagai produk hukum dalam upaya pembenahan pendidikan di tana air
meyebutkan: Pendidikan nasional adalah usaha yang secara sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, sikap sosial, dan
keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan dalam fungsinya
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Implementasi proses pendidikan
itu sendiri diatur dalam suatu sistem pendidikan secara nasional, sebagai
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional
Keselarasan defenisi, tujuan,
fungsi, serta sistem pendidikan tersebut patut diapresiasi. Jika ditarik garis
lurus, maka akan terlihat suatu proses yang sungguh menarik, mengutamakan
keterpaduan, menempatkan semagat kebersamaan, memberi kesempatan untuk
pengembangan diri, yakni suasana belajar-potensi diri-secara
aktif-kebijakan-berkepribadian-cerdas- terampil, serta menyempurnakan ketotalan
diri dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Maka, tepat sekali bila
pendidikan menjadi yang utama yang akan mampu mengangkat harkat dan martabat
kita, martabat bangsa.
Dalam konteks tersebut di atas,
jelas bahwa manusia dilahirkan membawa potensi, bakat, minat, kepribadian,
inteligensi, dan latar belakang budaya yang dapat dikembangkan menjadi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga ranah inilah sasaran bantuan yang
menjadi harapan semua pihak kepada guru sebagai tugas profesi. Seseorang yang
memilih guru sebagai lahan kerja, maka yang bersangkutan harus mampu mengolah
lahannya secara professional agar bibit tanam dapat berkembang optimal. Bahkan,
guru dituntut untuk pandai membaca dinamika zaman. Dalam hal yang terakhir ini,
seorang guru hendaknya dapat mengikuti perkembangan yang ada melalui
peningkatan, pengembangan diri secara terus menerus. Dengan kata lain guru
tidak hanya fokus pada tugas rutinnya dalam bentuk belajar-mengajar, tetapi
guru hendaknya mampu melakukan olah diri sebagai pribadi dan olah sosial
sebagai bagian dari yang lainnya. Apabila elemen yang lain merasakan
kemanfaatan dari keberadaan kita (baca: guru), maka yang bersangkutan telah
melaju setingkat dari tugas rutinnya sebagai guru-menjadi prestasi guru.
Prestasi dalam bidang tugas melalui tatanan kedisiplinan diri yang dapat menjadi
panutan semua pihak apalagi peserta didik. Bapak Pendidikan kita Ki Hajar
Dewantoro menyebutnya “Ingarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dan tutwuri
handayani.”
Tidak berhenti sampai di situ,
guru senantiasa melaju mengimbangi perubahan zaman yang bergerak tanpa henti
melengkapi kematangan pola pikir, untuk bersikap dewasa dan demokratis,
memiliki semangat kebangsaan yang tinggi yang membentuk pola tindak yang bijak
dengan melakukan serangkaian kegiatan secara terencana, dan berkesinambungan.
Kegiatan yang mampu memberi warna tersendiri terhadap penopang laju peningkatan
bidang tugas sebagai guru. Upaya itu tak lain adalah mengisi otak dengan
belajar, membaca, dan menulis. Jika otak diakui sebagai poros kehidupan, maka
dia harus sering dioles air mineral sehingga kesejukannya tetap terasa. Lebih
dari itu, dia akan menyumbangkan kehijauan yang mampu menbuat mata segar
memandang. Yang mampu memikat peserta didik (generasi masa depan) demi
perolehan ilmu pengetahuan yang sebanyak-banyaknya. Kita menyadari bahwa ilmu
inilah harta modal yang paling berharga untuk meraih masa depan yang gemilang. Kegiatan
mengisi otak dengan ilmu pengetahuan berarti menghalau kebodohan yang selama
ini menghimpit erat pola hidup masyarakat. Adalah seorang Socrates
mengungkapkan, “Tiada kecelakaan yang paling mencelakakan selain dari
kebodohan.”
Kita tidak akan membantah pernyataan
filosof Yunani tersebut di atas, bahkan semakin jelas kenyataannya bahwa
kebodohan itu sungguh mecelakakan, lebih dari itu kebodohan adalah kehinaan.
Karena itu, guru yang secara langsung berhadadapan dengan calon generasi masa
depan seyogyanya harus berkemampuan untuk menggiring peserta didik agar mampu
menjadi modal bangsa yang tangguh demi masa depan dirinya dan masa depan bangsa
sendiri dengan menempuh jalan mengisi otak melalui kegiatan belajar. Bila tidak
demikian maka kita telah menghianati diri sendiri, menghianati bangsa sendiri,
membiarkan badan sendiri terkungkung dalam kenistaan, membiarkan badan kurus
kerempeng. Miskin otak, miskin pula badannya. Bercermin dari kenyataan ini,
benarlah kalau kebodohan bertetangga dengan kemiskinan. Walaupun kita paham
upaya tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, namun, sedikit tidak kita
tahu kalau kehidupan orang bodoh tidak akan memberi makna apa-apa terhadap
kemajuan masyarakat, bangsa, apalagi bisa memberikan sumbangan buat kemakmuran
Negara. Bahkan, menjadi beban terhadap dirinya sendiri lebih-lebih pihak lain.
Demikian, situasi kebodohan akan
melahirkan kesengsaraan. Akan tetapi, dalam kehidupan guru tak mungkin hal itu
dibiarkan berlarut-larut. Guru adalah pejuang bangsa. Pemegang amanah
undang-undang. Asa masyarakat seimbang dengan berat beban yang bertengger di
atas pundak. Memang, kita tidak menutup mata, bahwa masih ada guru yang hanya
berpuas diri setelah jabatan guru itu dapat melekat pada dirinya. Golongan guru
dalam bab ini hanya pandai bersyukur karena dirinya telah menjadi guru, padahal
dinamika zaman terus melaju seiring perjalanan waktu yang menggelinding tanpa
henti. Namun, tidak sedikit guru melakukan pembenahan diri dengan file global.
Waktu dipakai untuk terus berinovasi. Tanpa memandang halangan sebagai
rintangan, tetapi bagaimana menghadapi rintangan agar kaki terus melangkah
menjadi pelajaran bagi diri sendiri. Kesulitan menghadapi kodisi ini memang
membutuhkan kesabaran dan semangat juang yang dahsyat. Hal itu disebabkan oleh
pandangan, sikap, watak, prilaku budaya semua pihak, baik warga elite bangsa,
peserta didik, masyarakat termasuk lingkungan sosial dan lingkungan alam ikut
mempengaruhi. Kita tidak memahami apakah kondisi itu menjadi filter bagi guru
untuk keluar sebagai pemenang? Yang jelas, bagi guru yang tidak mengenal putus
asa akan selalu berupaya agar dirinya serta peserta didik dapat keluar dari
lingkaran yang mengekang.
Karena itu, prestasi demi
prestasi direkat sebagai kekuatan baru sehingga yang bersangkutan dapat
memindahkan file yang ada ke rekaman yang baru, dari prestasi guru menjadi guru
berprestasi. Andai kita semua berpihak dalam tindakan untuk membentuk
kondisi pendidikan yang kondusif, bukan tidak mungkin tugas berat guru akan
terbantu. Kita semua telah melakukan inovasi pendidikan sejak lama. Kita
memiliki seperangkat kebijakan, Undang-undang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri Pendidikan, dan berbagai acuan lain datang silih berganti. Kita
kaya aturan. Kita pasti mampu bertutwuri handayani, memberi ruang bagi peserta
didik untuk mengembangkan potensi diri,
memberi ruang untuk membentuk etos kemandirian. Demikian, pemerintah melalui
Kemendikbud menggelar pentas pemilihan Guru
Berprestasi yang hanya ada dalam
komunitas guru yang memiliki etos kerja dan semangat kompetensi yang tinggi
bukan prestasi dadakan. Kiranya sekarang tergantung kemauan dan kepedulian
semua pihak menjadi masalah yang tidak dapat dipandang enteng.
Peulis adalah Guru SMA 1 Batukliang Lombok Tengah
Mantap...saatnya para guru tanya hati, "Masih layakkah untuk digugu dan ditiru?"
BalasHapusSiiip. kesadaran kitalah yang utama. ingat diri, ingat profesi.
BalasHapusyang jelas proses kesadaran untuk saling mengingatkan bahwa yang dilakukan harus sesuai dengan intensional state kt masing-masing untuk berkehendak dan bertindak dan bukan hanya sekedear menginginkannya semata.
BalasHapus