Rabu, 19 Juni 2013

Cerpenku


B E N I N G


Tidak ada yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi. Begitulah yang aku alami. Hari-hari kegembiraanku tidak bisa kunikmati seperti teman-temanku. Cita-citaku untuk menimba ilmu lebih banyak pupus dalam dukaku yang sangat dalam. Betapa tidak, pada hari pengumuman untuk masuk ke SMA, hari itu pula ayahku berpulang ke pangkuan Ilaihirobbi. Dukaku terlalu dalam. Aku sempat mengurung diri. Aku sempat tidak makan dan minum beberapa hari. Yang paling dikhawatirkan oleh keluarga, aku sempat tidak mau berbicara dengan siapa pun. Aku membisu dalam duka yang melilit perasaanku. Badanku kurus. Mukaku pucat. Badanku seperti tak bertulang. Dalam kondisi seperti itu, teman-temanku banyak yang datang. Mereka memberi semangat.
“Kau harus tabah. Kau harus bisa menerima kenyataan ini. Ringankan langkah ayahmu menghadap Yang Mahakuasa, karena kepada Dia jua kita kembali,” ujar Ratna sambil duduk di dekatku.
“Ya, Didik! Kau tidak boleh begini terus. Ingat, Dik! Beberapa hari kau tidak makan, badanmu sendiri yang menjdi lemas. Kau harus bangkit. Mungkin ini suatu petunjuk buat dirimu untuk sukses, walaupun jalan itu berbeda dengan teman-temanmu. Kamu harus ingat pesan guru agama kita, bahwa jalan menuju sukses itu berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin kamu yang akan lebih baik daripada kami. Itu semuanya rahasia Tuhan Yang Mahakuasa,” lanjut Erni menambahkan
“Kau tidak boleh begitu, Nak! Jauh-jauh temanmu datang untuk mengingatkanmu, tapi kamu tetap tidak mau berbicara dengan mereka. Hargailah mereka, Nak! Kau menjadi tumpuan harapan ibu untuk menggantikan posisi ayahmu. Harta benda masih ada untuk melanjutkan harapan hidup kita yang lebih baik,” tegur ibu dalam isak yang menyayat.
Aku masih berdiam diri. Tapi, hatiku sudah menggayut pikir. Aku sendiri tidak mengerti mengapa pikiranku datang dengan tiba-tiba. Kupeluk ibuku erat-erat.
(mau baca selengkapnya, hubungi pemilik blog ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berbagi...