Sahabat Tetesan Pena.
Kali ini saya ingin berbagi artikel
yang ditulis oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Artikel ini Sudah Dimuat di
Harian Kompas, Kamis, 7 Maret 2013
Dalam beberapa bulan terakhir,
harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra terhadap
rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.
Saya berkesimpulan, mereka yang
mempertanyakan kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara pandang atau
belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi yang menjadi
dasar Kurikulum 2013.
Secara falsafati, pendidikan adalah
proses panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi
manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya,
bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas, menjadi
bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti beriman-bertakwa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan
kompetensi Abad 21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas, bahwa
tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum
berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga
kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang
dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan nasional
perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah kompetensi
(sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat sejumlah
kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang beriman dan
bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan idealnya proses
sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses pendidikan
tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan
pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan dapat
dicapai.
Perencanaan Pembelajaran
Dalam usaha menciptakan sistem
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang tersebut
dibagi menjadi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan peserta
didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan
kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan
dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan.
Sebagai konsekuensi dari
penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara.
Pada dasarnya kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang
berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan
menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum
jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai
sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal.
Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik (keluaran),
dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi yang harus
diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar isi),
dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga, pelaksanaan
pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai bagian dari
standar proses), supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri
peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan
pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan
keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum berbasis
kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah salah sasaran
saat merencanakan perubahan kurikulum, karena yang perlu diperbaiki sebenarnya
metodologi pembelajaran bukan kurikulum. (Mohammad Abduhzen, “Urgensi Kurikulum
2013”, Kompas, 21/2 dan “Implementasi Pendidikan”, Kompas, 6/3). Hal ini
menunjukkan belum dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi
termasuk mencakup metodologi pembelajaran.
Tanpa metodologi pembelajaran yang
sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam
Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan
sebagai “memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji,
menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan
kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai dengan yang
ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan
tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi
pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu, sudah dirumuskan dengan baik
melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai suatu
taksonomi.
Pemikiran pengembangan Kurikulum
2013 seperti diuraikan di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang
diterima secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan Abad 21
serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang
disampaikan Elin Driana, “Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012) yang
mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi
terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tidak ada masalah dengan
kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil pembandingan
antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata pelajaran
Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS yang telah
diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP.
Belum lagi rumusan kompetensi yang
belum sesuai dengan tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi
matapelajaran dan tumpang tindih yang tidak diperlukan pada beberapa materi
matapelajaran, kecepatan pembelajaran yang tidak selaras antarmata pelajaran,
dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik
kurang dilatih bernalar dan berfikir.
Kompetensi Inti
Kompetensi lulusan jenjang satuan
pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang untuk
pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan
proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu
dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai dengan jenjang kelas di mana kurikulum
tersebut diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi inti
ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada
kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring
meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai
anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi
dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas
dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan
multidimensi, kompetensi inti juga memiliki multidimensi. Untuk kemudahan
operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu
sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan
bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik
yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan untuk
diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata
pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada kompetensi inti
yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran yang diajarkan
dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap pembentukan
kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi inti merupakan
pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan mempelajari setiap
mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai integrator horizontal
antarmata pelajaran.
Dengan pengertian ini, kompetensi
inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran
tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik,
sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap
peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat, menjadi kompetensi inti.
Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan
ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada “Kompetensi
Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang mencerminkan kompetensi
Bahasa Indonesia, karena memang tidak ada yang namanya kompetensi inti Bahasa
Indonesia, sebagaimana yang dipertanyakan Acep Iwan Saidi, “Petisi untuk
Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung kompetensi inti,
capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi kompetensi
dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai
dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok
kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan,
dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar sedetil ini
adalah untuk memastikan bahwa capaian pembelajaran tidak berhenti sampai
pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada
sikap.
Kompetensi dasar dalam kelompok
kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik, karena kompetensi ini tidak
diajarkan, tidak dihafalkan, tidak diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik,
bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut, ada pesan-pesan sosial dan
spiritual yang terkandung dalam materinya. Apabila konsep pembentukan
kompetensi ini dipahami, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kegelisahan yang
disampaikan L. Wiliardjo dalam “Yang Indah dan yang Absurd” (Kompas,
22/2)
Kedudukan Bahasa
Uraian rumusan kompetensi seperti
itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat merancang kurikulum
SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat dimana peserta didik mulai
diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun,
peserta didik SD masih belum terlatih berfikir abstrak. Dalam kondisi seperti
inilah, maka terlebih dahulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan
sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik
yang masih mulai belajar berfikir abstrak.
Di sini peran bahasa menjadi
dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber
kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk saluran sempurna
(perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan
menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan
kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam
penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui
pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat
semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula, maka
pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang
hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran
Bahasa Indonesia kurang diminati oleh pendidik maupun peserta didik.
Melalui pembelajaran Bahasa
Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam
kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar
Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman
peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan
Saidi, “Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai
pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah kurikulum
berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) 2004, tapi belum terselesaikan karena desakan untuk segera
mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Rumusannya
berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi, sehingga
sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum
seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari
yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu ada baiknya
memahami lebih dahulu terhadap konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai
koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas, sebelum mengkritik. (***)