PEMILU DALAM KEHIDUPAN BERDEMOKRASI
Oleh: Abd. Jafar M. Nur
Jika kita hanya mengotak-ngatik makna kata
dalam bahasa, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang kasat mata sebagai
sebuah hasil karya (bukan lambang). Karena itu, judul di atas menekankan pada
proses bukan maknanya. Pemilu adalah proses. Kehidupan pun demikian, dan
berdemokrasi juga sebuah proses dengan ruang dan waktu masing-masing. Pemilihan
Umum (pemilu) merupakan kegiatan politik untuk menentukan siapa yang bakal
menentukan kebijakan pemerintahan dan atau siapa yang akan berkuasa atas suatu
pemerintahan yang akan mengatur, memelihara, dan meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat. Di dalamnya terdapat corak kehidupan, interaksi
antarsesama dan interaksi dengan lingkungan yang hidup dalam suatu sistem yang dipilih sebagai kesepakatan nasional
yaitu demokrasi. Dengan kata lain, Negara Demokrasi.
Hampir semua Negara di dunia ini memilih
pola hidup berdemokrasi, maka pemilihan umum sebagai proses politik Negara
melalui sistem kepartaian sebagai mesin penentu rodaputar kehidupan warganya
termasuk Negara tercinta ini,” Indonesia.” Perjalanan kehidupan berpola
demokrasi ini telah sama-sama kita nikmati. Suka-duka, pahit-getir dengan
neraca masing-masing individu yang memegang hak dasar sebagai warga Negara
dapat dipastikan telah memegang kata kunci yang melekat pada diri. Dan, akan
menjadi pegangan yang tidak dapat dikutak-katik oleh yang lainnya untuk
digunakan dalam penentuan pilihan disetiap pemilihan umum tiba. Sebenarnya di
Negara kita tercinta ini, interaksi demokratis semakin membaik. Hal tersebut
dapat dilihat ketika pesta demokrasi tiba, seluruh warga Negara yang memiliki
hak pilih datang berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai
penjelmaan dari pola demokrasi “dari.” Mereka
duduk-duduk atau sambil berdiri santai dengan hati berbunga-bunga, membungkus
kata hati, menyimpan rahasia pilihan.ketika itu berakhirlah demokrasi dari,
yang akan berlanjut menanti datangnya demokrasi “oleh.” Manakala nama dipanggil oleh petugas , mereka mengayun
langkah menuju bilik suara tempat terakhir kerahasiaan mereka akan tercurahkan.
Memilih sesuai pilihan yang selama ini tersimpan rapi. Setelah surat suara
dimasukan ke dalam kotak suara, maka berakhirlah demokrasi oleh. Dengan penuh
keyakinan atas pilihannya akan lebih unggul dari yang lainnya, mereka lalu
pulang ke alamat masing-masing membawa kata hati dalam harapan terhadap
kehidupan yang lebih gemilang di hari esok, menandai proses awal dari demokrasi
“untuk.” Mereka menyadari bahwa apa
yang mereka lakukan hanya sebagai bentuk partisipasi dalam menegakkan
demokrasi.
Dengan demikian, warga Negara Indonesia
yang telah memiliki hak memilih bukan berarti komunikasi terputus sampai di
sini, melainkan mereka akan menanti buah dari pilihannya itu. Malahan, nilai
pemilihan berada setelah proses tersebut terlaksana. Nilai yang humanistic
memang melekat pada setiap personal sehingga demokrasi untuk selalu memiliki sifat ketergangtungan. Artinya,
tenggang waktu dalam proses demokrasi
untuk itu sangat ditentukan oleh nilai humanistic penentu kebijakan atau
pemegang kekuasaan sesuai dengan pilihan kita tadi. Jika sepak terjang setiap
personal penentu tadi, baik penentu kebijakan maupun pemegang kekuasaan secara
bersama-sama bertanggung jawab terhadap amanat rakyat yang diberikan melalui
demokrasi dari, oleh, dan untuk tadi akan berjalan sesuai saluran irigasi yang
telah dibangun sebelumnya. Kondisi inilah yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat. Dan, disini pula
terjadi proses pendidikan politik tumbuh dan berkembang (berkehidupan)
masyarakat yang akan menjelmakan nilai raport terhadap pilihannya tadi.
Kehidupan bermasyarakat dalam konteks
politik berlangsung secara bersamaan menggandeng nilai materiil dan moral
spiritual yang akan melahirkan dan memvonis pilihannya dalam pernyataan
baik-buruk. Penilaian baik diberikan
apabila rasa aman dan pemenuhan kebutuhan hidup dirasakan tidak melilit,
demikian sebaliknya. Ketika segala aspek kehidupan tak mampu lagi bersembunyi
seperti saat ini, maka sering terjadi sesuatu yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya akan menjelma di hadapan kita secara tak terduga. Seperti apa yang
dicontohkan oleh kenyataan sekarang.
Kendati pilar star demokrasi itu mengacu pada prinsip trias politica yaitu Legesltif,
Eksekutif, Yudikatif, seperti tak mampu bernapas lagi. Tumpuan harapan pemilih
berada di lembaga ini yang sekarang telah ditaburi putih telur oleh oknumnya
sendiri. Predikat, baik, terhormat, bermartabat, ada lagi sebutan yang mulia, kata-kata pilihan dalam
makna yang selalu kita banggakan. Sekarang makna itu malu bergandengan dengan
jasadnya. Entah di mana dia bersembunyi. Atau kapankah makna itu dapat
bernesrah kembali? Panggung demokrasi datang lagi sebentar. Pemilih harus
selektif. Menempatkan suara jangan terpedaya. Pengalaman telah berbicara.
Tampan wajah tak lagi berdaya. Indah tutur hanya gema. Ada janji pemikat.
Bahkan, bingkisan beterbangan tanpa sayap hinggap dimana-mana.
Oleh sebab itu, pemilih jangan golput. Ini
sebuah perjalanan jauh yang lintasannya masih dalam rekaan. Yang jelas, di alam
fana ini tak ada keabadian. Semuanya pasti berakhir. Roda selalu berputar.
Semulus-mulus jalan raya berhotmex, getaran pasti terasa. Kita tidak boleh
berputus asa, karena suka dan duka selalu bergantian. Ketika korupsi, kolusi,
nepotisme menghantui wajah negeri, ratapan anak pertiwi menjadi hiasan berdaki,
dan kita menaruh harapan pada tangan hukum untuk memborgol. Tapi, kekuatan
genggamannya pun tak lagi mampu untuk melawan otot yang lebih dahulu terbentuk.
Tangan hukum tak menjangkau. Anak pertiwi terus meratap, mengiringi waktu yang
terus merayap. Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi berkeinginan serius maju
sambil memikul segudang bukti. Namun, bukti pun masih membutuhkan saksi,
sementara waktu tak pernah berhenti. Nilai kebenaran begitu mahal. Nilai
kejujuran apalagi. Tidak usah kita bicarakan
keadilan, karena indikatornya yang dinamis. Nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan yang
semakin gelap yang menghadang laju siraman yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat
hilir. Lalu, adakah yang merasa tersinggung ketika tiba waktunya nanti terbaca
penilaian kaum duafa melalui hasil pesta demokrasi 2014? Penulis berpendapat,
kita harus merasa puas karena suatu
kekuatan pondamental sebagai hak dan kewajiban yang tak bisa dikutak-katik
(kehidupan berdemokrasi) yang bertanggung jawab dapat berlangsung dengan baik,
tertib, aman, serta langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber). Pada saat
itulah kita semua digiring untuk belajar menerima sebuah kenyataan yang mungkin
berada di luar keinginan kita sendiri (kehidupan berdemokrasi yang beretika).
Mengingat kedaulatan rakyat jauh lebih
besar dari pada kedaulatan yang lainnya, maka seyogyanya ketiga lembaga Negara
(Eksekutif, Yudikatif, dan Legeslatif) dapat merakit demokrasi kepemimpinan
yang menyeluruh sehingga pelayanan public lebih optimal. Demokratisasi
kepemimpinan yang dimaksud akan mampu menjadi bahan pengawet dan sekaligus
menjadi payung penyejuk manakala public berinteraksi dengan ligkungan. Dan,
juga sebagai bentuk kesungguhan penguasa dalam memenuhi hajat hidup orang
banyak sesuai undang-undang yang berlaku. Keterbukaan zaman saat ini
mengharuskan penguasa bukan saja pada peningkatan pelayanan, tapi sudah harus
menjurus pada peningkatan kualitas. Pelayanan tidak semata-mata untuk
menghilangkan rasa lapar, akan tetapi pendistribusian pelayanan sudah harus
menimbang berbagai multivitamin sebagai kapsul konsumtif. Hal tersebut bukan
suatu keanehan, karena arah laju pemerintahan demokrasi adalah peningkatan
kesejahteraan rakyat sebagai langkah awal dalam upaya menjadikan bangsa yang
lebih bermartabat.
Andaikan kita tulus dan mau menegok ke
belakang terhadap kerja dan kinerja Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang juga terdiri atas Tokoh-tokoh politik, pemimpin sejati yang ditandai oleh
hasil sidang-sidang yang nyaris sempurna. Tak terlihat argumentasi egois.
Mereka selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (rakyat). Argumentasi
egois hanya untuk kepentingan lahir sebuah negara, nusa dan bangsa.
Jadi, demokrasi sebagai alat kita menuju
tujuan yang telah dicanangkan jauh sebelum kita berproses yaitu masyarakat sejahtera yang berkemakmuran dan
berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tangguh.
Suatu cita-cita luhur yang diamanatkan oleh pendiri bangsa ini sebenarnya
bukanlah hal yang terlalu sulit untuk diraih jika para wakil rakyat, pemerintah
hasil Pemilu bergandengan tangan bekerja secara bersama-sama memegang dan
menjalankan amanat Undang-undang demi orang banyak, yaitu peningkatan
kesejahteraan rakyat. Mereka harus mau dan mampu menyadari diri bahwa jabatan
itu sebagai alat interaksi sebuah proses menata hidup orang lain. Jabatan bukan
kesempatan untuk melipatgandakan kekayaan.
Jadi, kita tak perlu lagi terperangah
terhadap definisi tentang demokrasi karena zaman terlampau jauh meninggalkan
kita. Aplikasi nyata adalah kebutuhan rakyat bukan teori retorika. Antusias
rakyat menuju tempat pemungutan suara (TPS) yang mengawali proses berdemokrasi
(dari dan oleh) harus dijamu mahal melalui aksi nyata (bukan janji dusta). Tanggal
9 April 2014 KPU menyodorkan waktu untuk menutup halaman lama dan sekaligus
membalik lembaran baru apakah rakyat
masih berteman dengan keluhan ataukah dia akan tertawa terkekeh-kekeh?
Jawabannya tidak ada di sini dan bukan pula ada di sana, tapi jawaban itu
tertanam dalam nurani siapa nantinya yang akan terpilih.
Penulis
adalah Guru SMA 1 Batukliang
Lombok
tengah.